Featured Posts
Monday, October 21, 2019
Disintegrasi Virtual
Friday, April 6, 2018
Elegi
Mencoba kembali merunut beberapa pikiran yang lalu untuk dituang ke dalam bentuk tulisan, setidaknya agar cemas ini cepat mereda. Lalu aku bertanya, adakah kecemasan yang lebih besar daripada mencemaskan masa depan? Karena kukira, ada yang lebih menyiksa daripada itu, yaitu rindu. Aku pernah berkata, bagaimana mungkin rindu yang begitu menyiksa ini disebut kebahagiaan? Tapi kukira wajar, lebih baik tersiksa rindu daripada terus diselimuti kecemasan akibat ketakutan menghadapi masa depan. Manusiawi sekali, takut akan hal yang belum tentu terjadi. Aku tak peduli dengan perkataan motivator-motivator pintar itu, yang melarang-larang kita untuk jangan cemas. Bagiku, harapanku muncul akibat kecemasanku, dan harapanku ini yang menghidupkanku, bukan perkataan mereka.
Itu mungkin hanya alasan bagimu, seperti berkata "aku susah jatuh cinta", padahal menurutku, tidak ada istilah susah jatuh cinta. Kita klaim susah jatuh cinta saat mengalami kesendirian, atau jawaban pembenaran menutupi kesepian. Jarang manusia ingin terlihat lemah, tapi kadang saat lemah ingin dikasihani.
Mungkin saatnya menikmati kecemasan, barangkali itu hal yang paling mudah untuk dilakukan. Karena bagaimanapun, jalan keluarnya tetap dari bagaimana kita menyikapinya. Seperti permintaan maaf dari mantan, hanya menambah penderitaan, bagi mereka yang masih merasakan cinta, setelah itu berlalu. Lalu apa hubungannya? Kukira tidak ada. Ingin saja aku untuk sedikit mencurahkannya. Sudah kubilang, aku sedang cemas, kuharap kau maklum.
Berbicara tentang curahan hati, beberapa sajak berhasil kubuat, untuk dia yang masih kurindukan. Untuk dia yang tak pernah kuharapkan untuk bertemu kembali. Aku hanya menyiksa diri dengan rinduku, bukan menginginkannya, bukan. Jangan salah paham.
"Pada akhirnya mereka yang pergi telah melewati dua hal: kebaikan atau keburukan. Menyesalinya atau mensyukurinya, itu juga berarti merelakannya ialah hal yang pasti."
"Kini kau bahagia, setidaknya klaim itu mencukupkanku untuk tidak lagi memikirkanmu apalagi mengharapkanmu kembali, kini kau bahagia."
"Alasanku pergi ialah agar bukan kau yang menderita akibat melepaskan dan mengubur perasaan, seperti aku sekarang."
"Kebencianmu terhadap orang yang (pernah, atau mungkin masih) kau cintai, yang berarti itu aku, adalah yang membuatmu semakin kuat."
Cukup, hanya itu. Cemasku masih tak mereda, meski sudah kualihkan pada rindu, ini menyiksa. Sudah cukup aku mencemaskan diriku sendiri, tak perlu kutambah mencemaskan dirinya juga. Dengan merindukannya, lalu membuat sajak, sedikitnya menambah kecemasanku. Aku cemas jika sajak-sajakku ternyata salah.
Jika menurut Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang menyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan itu setiap manusia diharapkan mampu memunculkan bakat yang dimiliki, serta bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Kupikir saat ini, merindu adalah bakatku, dan aku pun bisa mengembangkannya. Kupikir, aku sangat suka apabila dirindukan. Kupikir, ia juga akan suka, namun aku kembali cemas karena takut ia tidak, karena aku yang merindukan. Aku urungkan niatku untuk mengembangkan bakatku ini. Lebih baik begitu.
Jika cemas ini hanya sekedar menakuti, tanpa mengubah menuju perubahan yang baik, maka betul waktu hanya berlalu dengan percuma. Cemas ini muncul, karena pernah melalui dan mengalami situasi, di mana aku tidak dapat melakukan apapun saat sekitarku membutuhkan pertolongan. Sengaja kugambarkan secara implisit, yang jelas saat itu sangat tidak mengenakkan, bahkan menangis pun aku tak pantas. Bukan dramatisir, bayangkan saja. Sungguh, tidak ingin lagi ada dalam situasi tersebut.
Friday, April 14, 2017
Hoax dan Ilusi Kebenaran
Thursday, December 22, 2016
Gayung Bersambut
Jika tidak, tak mengapa.
Saturday, April 30, 2016
Satu Kalimat Yang Tak Sempat Kuucap
It has to end to begin. Hanya awal yang menjadi begitu sangat indah. Akhir ini pahit, meski sudah pernah aku duga. Ia yang mengakhiri cerita ini bukan dengan cara berpaling, bukan dengan penolakan. Ia mengakhiri dengan elegan; menerima pinangan pria yang bukan aku. Aku kalah, meskipun ini bukan kompetisi. Aku marah, namun entah pada siapa. Aku lemah, walau tak ada yang menekan. Sebab mungkin karena aku tak mampu untuk menyalahkan siapapun, menyalahkan apapun selain diriku sendiri. Padahal hanya dia yang benar-benar kuinginkan, namun Tuhan tidak menghendaki.
Hanya sanggup sampai tahap mencintai, namun untuk dapat memilikimu butuh lebih dari sebuah mukjizat. Tuhan maha mengetahui, termasuk doaku, namun tampaknya ia lebih senang menyelamatkanmu agar tidak bersamaku.
Aku tak pernah bicara pengorbanan, sebab apalah kemurnian dari sebuah pengorbanan jika dihitung. Aku juga tak pernah bicara cinta, sebab apalah arti cinta jika diucapkan saja tidak pernah. Meskipun aku pernah bermaksud untuk mengucapkannya padamu, namun Tuhan benar-benar menyelamatkanmu. Kau tentu ingat saat kepulanganku dari Jepang, dan sakitmu saat itu adalah bentuk penyelamatan dari Tuhan sehingga kau tak dapat kutemui hingga waktu liburmu telah habis. Kau pun kembali ke Jerman. Tuhan juga tahu bahwa aku akan terluka, hanya saja aku yang terlalu bodoh menyadari itu semua, melawan kehendak-Nya. Tuhan tahu karena selalu ada namamu dalam setiap doaku. Setiap doa demi kebaikanmu pasti Ia kabulkan, namun doaku untuk dapat memilikimu tidak Ia hiraukan. Yang berarti bahwa aku bukanlah kebaikan tersebut. Pria yang kau pilihlah kebaikan itu.
Tidak mengapa, hidup tak terlalu jauh dengan luka, setidaknya bagi diriku. Pain made me grow up. Dan asal orang yang dicintainya bahagia, bukan? Aku tak pantas menangisi, kau tak pernah menyakiti. Aku tak pantas bersedih, pilihanmu ialah doaku juga. Namun aku tak dapat memungkiri bahwa aku sedang berusaha berbahagia, walau nyatanya aku tak mampu. Aku pikir ini cinta, entahlah. Yang jelas untukmu kubuatkan buku saat yang lain hanya kubuatkan puisi, kubuatkan syair.
Pada akhirnya Tuhan mengabulkan doaku untuk dapat melihatmu, menemuimu. Bukan di The Loft tempat kita pertama kali makan malam, bukan pula di Sober tempat kau habiskan rasa penasaran. Atau, di manapun tempat aku bisa utarakan kalimat yang tak sempat kuucap, bukan. Aku melihatmu saat kau bersanding dengan pria pilihanmu. Aku menemuimu sebagai tamu. Yang artinya, itu mungkin menjadi yang terakhir kalinya aku menemuimu. Tak akan kutulis selamat berbahagia di sini. Seperti kubilang, selalu ada namamu dalam doaku.
Sunday, December 6, 2015
Membirukan Senja
Tidak sedang memerankan seorang tokoh, menjadikan alur terjadi seperti sur-realisme bukan pula menjadi tujuannya, namun akhir adalah akhir. Mungkin mereka dapat menyimpulkan tentang pertemuan berikutnya, kejutan selanjutnya, kemungkinan yang tidak pernah menurutkan harapan, yang sebenarnya hanya sebuah angan belaka, tak lebih. Ketika dibenturkan dengan kenyataan sesungguhnya, saat merasa bahwa hidup ini ternyata penuh omong kosong, diisi melulu soal kekecewaan, tidaklah terlalu kejam untuk memaki bahwa hidup tak pernah adil. Hanya raut muka yang dapat menutupi, namun perasaan tak dapat dipungkiri. Kopi pahit tetaplah pahit, tidak bisa berpura-pura bahwa itu manis. Pun kebahagiaan, kesedihan tetaplah menyedihkan, tak seharusnya berpura-pura bahagia. Adapun yang bisa seperti itu, ia hanya sedang bersandiwara. Dan sandiwara terburuk dalam kehidupan yaitu berpura-pura bahagia.
Kita pernah bahagia, kita harus. Kita pernah sedih, kita juga harus. Lalu seperti apa bahagia itu? Sebuah tujuan kah? Atau sebuah hadiah? Yang kita tahu, setiap mencapai tujuan tidak selalu mendapat hadiah, dan saat mencari hadiah belum tentu itu menjadi tujuan. Namun sepertinya kekecewaan sering datang pada mereka yang menjadikan hadiah sebagai sebuah tujuan.
Seseorang pernah berkata, dan bahkan mungkin ia pernah melakukannya, bahwa perjuangannya bak membirukan langit senja yang jelas-jelas selalu merah. Perumpamaan yang bagus untuk sebuah kesia-siaan, konotasi tentang kemustahilan, yang juga menyimpan perasaan sangat mendalam, kesan yang tak akan terlupakan, dan ketidakberdayaan. Secuil saja harapan hinggap, selamanya ia akan berpikir bahwa itu mungkin terjadi. Hidup tak harus selalu begitu, sayang. Lebih baik jika keniscayaan kau gunakan untuk sesuatu yang lebih layak bagimu. Ada masa yang seharusnya tidak diulang kembali. Jika itu manis nikmatilah, jika itu pahit telan sajalah. Keduanya sudah sama-sama kau ketahui di awal bahwa itu merupakan sebuah konsekuensi dalam salah satu dari ribuan tatanan kehidupan, juga representasi kehidupan. Only you can choose what you wanna see.
Aku selalu senang jika diharapkan, juga akan menjadi takut ketika terlalu diharapkan. besar-kecilnya harapanmu adalah yang menentukan tingkat kekecewaanmu. Dan tak ada yang lebih menyedihkan selain dikecewakan, aku kira. Bukan bagaimana dikecewakan, tapi seberapa besar harapan itu kau bangun. kau bisa menjadi apapun, tapi tak dapat membuat siapapun selalu seperti inginmu.
Mengharapkan akhir bahagia bukanlah sebuah ketamakan, semua berhak mendapatkannya. Namun jika itu bukan konotatif maka akhir bagi manusia berarti mati. Dan jika seumur hidup kita selalu memiliki harapan, mungkin tidak pada saat mati. Maka harapan ialah ciri kita hidup. Harapan membuat kita tetap hidup, namun juga bisa membunuh kapan saja. Banyak orang bahagia, dan tak sedikit pula yang menderita akibat mengejarnya.
Dan ingat senja yang selalu merah, walau kita terus mencoba membirukannya. Kesia-siaan itu berawal ketika kita menganggap manusia seperti senja, kenyataannya kita bukanlah senja. Kita berusaha membirukan senja padahal selalu tahu bahwa senja hanya akan melegam.
Monday, October 26, 2015
Thursday, July 30, 2015
Pengakuan Seorang Pecundang
Duduk menunggu antrean biasanya menyebalkan, sebelum akhirnya tiba seorang Ibu duduk di sebelah saya lalu mengajak saya ngobrol. Panjang kami mengobrol hingga akhirnya ia bertanya tentang pernikahan. Saya pun menjawab jika saya tidak terlalu tertarik dengan pernikahan, ia tanya kenapa. Saya hanya tersenyum, kemudian ia memberikan sedikit statement bahwa pernikahan itu mungkin dibutuhkan, selain untuk memiliki keturunan, juga untuk mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan tidak sepenuhnya benar, harus ada yang mengingatkan. Orang tua tak selamanya dapat menemani kita. Lalu ia tersenyum, ia pun bilang selama ini suaminya tidak banyak melakukan apa-apa, selain membantunya bahagia, itu saja lebih dari cukup, lalu kebahagiaan itu bertambah datangnya dari anak-anak mereka. Ia bilang tidak mau mati dalam keadaan sendiri, kesepian. Karena tidak ada penderitaan yang lebih mengenaskan daripada kesepian. Happiness is you've always known you're not alone.
Saya tersenyum, terharu..
Kemudian saya tersedak ketika Ibu tersebut bertanya apakah tidak ada wanita istimewa yang benar2 saya inginkan untuk menemani saya di kemudian hari. Saya jawab ada, namun saya sudah tekan perasaan itu beberapa tahun ini, saya hampir merelakannya, membiarkannya bahagia dengan jalannya sendiri, saya mencintainya.. namun saya tak mau terlalu memaksakan apa yang tidak saya sanggupi. Ia menanggapi, bahwa sebelumnya ia tak pernah mengira akan bahagia bersama suaminya, namun suaminya bisa membuat hal yang menurutnya tidak mungkin, menjadi sangat mungkin, dan ternyata ia bisa. Kemungkinan itu selalu ada. Saya malu, kemudian mengakui bahwa saya hanyalah seorang pecundang. Ia tertawa, disanggahnya saya bahwa saya mungkin hanya seorang pengecut, sudah melewati asam garam kehidupan tapi terlalu berhati-hati, takut menghadapi kenyataan, dan akhirnya tidak terlalu berani mengambil risiko. Saya tersipu, mengiyakan perkataannya. Kemudian ia pamit, entah kemana.
Banyak yang bisa saya petik dari obrolan yang tak terduga itu, namun sayangnya.. tetap tak dapat mengubah ketertarikan saya terhadap pernikahan. Iya, saya mungkin terlalu pragmatis.
Sunday, November 2, 2014
Promises
Friday, July 4, 2014
Kehadirannya part III..
Tuesday, September 10, 2013
1 Pilihan Pada 2 Mimpi yang Berbeda
Impian, merupakan pencampuran daripada hasrat keinginan dan susunan rencana-rencana ideal dalam rangkaian pikiran kebahagiaan yang dinilai dapat menciptakan sebuah ketenangan dalam diri, meskipun itu tidak menjamin segalanya. Impian tak melulu menjadi fatamorgana, impian dapat diciptakan, impian dapat diwujudkan......bagi mereka yang percaya tentunya.
Entah, bagi sebagian orang ketika mengingat impiannya sendiri merupakan sebuah kesedihan yang mendalam, seperti sebuah kekecewaan atas apa yang telah terjadi dan mempersalahkan langkah juga diri sendiri tanpa henti.
Perlahan, ketika mimpi itu mendekat pada sebuah kenyataan...sedangkan kondisimu sekarang sedang terisi mimpi lain yang kadarnya berbeda, tidak kurang, akan tetapi hasratmu pada mimpi yang mendekati itu menjadi lebih menggebu mengingat mimpi lain itu kepercayaannya pernah runtuh. Lantas apa sebenarnya yang terjadi ini?
Menjatuhkan 1 pilihan pada 2 mimpi yang berbeda, membutuhkan sebuah kebijaksanaan yang luar biasa. Kebijaksanaan tidak berdasar pada keinginan, kebijaksanaan tidak berdasar pada nafsu, kebijaksanaan tidak berdasar hasutan. Kebijaksanaan terlahir atas dasar pemikiran jernih seorang manusia yang mampu mempertimbangkan segala sesuatu dengan seluruh aspek positif serta negatif yang akan terjadi. Intinya, kebijaksanaan ini ialah memutuskan dengan menyesuaikan kemampuan.
Ini hidup, ini hidup.. Hal luar biasa apalagi yang akan terjadi di depan? Kompensasi atas seluruh kerja keras dan pembelajaran-pembelajaran hidup, akan setimpal.
Kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan, setimpal dengan apa yang telah kita lakukan.
Kita, makhluk lemah yang memiliki impian sangat besar, bahkan otak kita kadang tak mampu menopang mimpi tersebut, minimal menjadi kenyataan.
Tetapi ketika mimpi itu menjadi kenyataan, kita tak tahu harus berbuat apa....
Itulah salah satu bukti kelemahan...
Thursday, August 22, 2013
Urgently Required
Gue lagi butuh freelancer-freelancer nih yang udah berpengalaman atau yang biasa nge-eksekusi event/konser musik.
Domisili Bandung diutamakan, tapi kalo ga keberatan buat bolak-balik Bandung-Kota elo, ga masalah selama biaya ditanggung pribadi ya, tapi kalo sewaktu ditugasin biaya akomodasi, transportasi dsb ditanggung kantor.
Syaratnya ya itu, kalo orang EO pasti ngerti deh :D
- Siap diberangkatin ke kota manapun, pulau manapun di Indonesia dari Agustus akhir - awal Desember.
- Terbiasa me-threatment artist Grade A dan B (misal grade A: NOAH, Ungu, dll. Grade B: Five Minutes, Superman Is Dead, dll)
- Public Speaking
- Punya nyali gede
- Sisanya ngobrol-ngobrol aja dulu deh biar jelas
Kalo minat, silahkan kirim CV sama aplikasi ke:
irdunisme@gmail(dot)com
Monday, July 22, 2013
Arsip 24 Maret
Ada yang datang ada yang pergi, fase demi fase dilalui begitu saja. Entah kemana resolusi-resolusi dulu, ketika dihitung mungkin beberapa saja yang dapat terealisasi, entahlah.. hidup memang seperti ini. Berbicara soal kehilangan, sepertinya tidak seorangpun yang tidak merasa takut kehilangan.. Terlebih sesuatu itu penting, berarti, bermakna, dan sangat membekas.
Beberapa bulan lalu, kehilangan yang sangat besar begitu terasa (hingga saat ini). Yang tidak akan pernah terganti, yang akan selalu ada dalam lubuk hati yang terdalam, yang selalu menjadi cinta pertama, yang selalu menjadi orang yang paling tulus.. dalam segala kondisinya, Mama ..
Penyesalan itu hinggap ketika janji-janji yang pernah terucap sudah dirasa sia-sia tanpa adanya kehadiran beliau meski itu terealisasi, meski nyatanya tidak ada yang sia-sia. Bukan hanya soal janji, bukan hanya soal balas budi.. Minimal membuatnya semakin sadar bahwa anaknya ini benar-benar mencintainya, ingin melihatnya bahagia.. dan beliau dapat pergi dengan tenang.
Ada cerita dibalik ini,
selalu ada cerita ..
dalam perpisahan, serta pertemuan
selalu ada cerita ..