Social Icons

Pages

Featured Posts

Monday, October 21, 2019

Disintegrasi Virtual

Meluasnya fungsi media sosial sebagai alternatif aktivitas masyarakat saat ini menjadikannya sebagai salah satu media primer yang digunakan oleh masyarakat. Layaknya berinteraksi di ruang publik, ruang virtual juga seringkali digunakan untuk diskusi atau menjadi ruang debat beradu pemikiran, ideologi, dan praktik-praktik berbau politik. Maraknya ruang siber digunakan untuk praktik-praktik semacam ini menimbulkan potensi munculnya disintegrasi; merebaknya hoax, ujaran kebencian (hate speech), hinaan atau umpatan dengan bahasa kasar (flaming) merupakan salah satu contoh disintegrasi. Karena praktiknya di ruang siber, maka disebut disintegrasi virtual.
Berbicara permasalahan-permasalahan di dunia virtual berarti juga membahas totalitas sistem sosial yang di dalamnya yang mencakup fungsi struktural, kemudian muncul konsekuensi yang tidak diharapkan dari satu sistem sosio-kultural. Tindakan manusia merupakan suatu proses untuk memproduksi dan memproduksikan kembali berbagai sistem sosial. Artinya, ketika kita berinteraksi satu sama lain di ruang siber, maka kita telah membuat berbagai struktur dengan lingkup mulai dari struktur institusi sosial dan budaya yang luas hingga lingkup struktur hubungan individu yang lebih kecil.
Teknologi siber sebagai budaya memungkinkan adanya perubahan konsep ruang dan waktu serta aturan dalam komunikasi (Dodge dalam Hine, 2005). Namun bukan berarti dengan adanya teknologi, para pengguna lantas mempraktikkan suatu budaya baru, belum tentu. Praktik di dunia virtual tidak jauh berbeda dengan praktik di kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam mengkonsumsi berita, kebiasaan melihat berita di televisi, mendengarkan radio, atau membaca koran, kini dapat dilakukan secara streaming dan membaca situs berita di ruang siber. Praktiknya tetap sama, namun mediumnya kini menjadi lebih beragam.
Mengacu pada teori cultural lag (kelambanan budaya), apabila bermacam-macam bagian dari kebudayaan berkembang secara tidak imbang, tidak sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka kebudayaan tadi akan mengalami proses kelambanan kultural (Kartono, 2013). Teknologi kian berkembang semakin pesat, apakah peradaban menyelaraskannya dengan imbang? Sudah maju atau tidaknya suatu peradaban tentu saja ditinjau dari perilaku masyarakatnya. Dan saat dunia virtual yang semakin canggih namun masih digunakan untuk praktik membagikan konten yang mengandung isu-isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), peradaban di sini masih belum benar-benar maju.
Fenomena di ruang siber dapat dipandang sebagai suatu budaya dan artefak kebudayaan. Selain itu, disintegrasi virtual berperan ganda, bisa sebagai sebab, bisa juga sebagai akibat. Akibat dari disintegrasi virtual ini salah satunya ialah hilangnya kontrol dan memungkinkan individu-individu untuk bertingkah laku semaunya sendiri tanpa penggunaan pola-pola susila, tanpa rem. Ruang siber bisa digunakan sebagai ajang perseturuan dalam kontrol dan interpretasi pop culture.
Faktor penyebabnya tentu saja beragam, faktor ekonomi, politik, sosial budaya, bahkan religius sekalipun. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, saling mempengaruhi, dan tingkah laku manusia juga akan terpengaruh. Perubahan tingkah laku dan perubahan sosial terjadi beriringan dengan perkembangan yang tidak imbang dalam kebudayaan, adanya disharmoni atau ketidakselarasan. Hal ini ikut didorong oleh penyedia platform-platform yang mulai bergantung pada partisipasi khalayak, menjadikannya sebagai bagian integral dalam aparatur produksi media itu sendiri.
Bukan tanpa sebab Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Berangkat dari sebuah kekhawatiran, Komisi Fatwa menyebutkan apa-apa saja yang diharamkan, yaitu melakukan gibah, fitnah, adu domba, dan penyebaran permusuhan. Kemudian MUI juga mengharamkan bullying, ujaran kebencian (hate speech), serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan. Selain itu, diharamkan pula bagi mereka yang menyebarkan hoax apapun tujuannya, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan semua hal yang terlarang secara syar’i. Dalam padanan hukum, terdapat undang-undang yang mengatur mengenai segala bentuk informasi, transaksi dengan menggunakan medium elektronik, yakni UU ITE. Membahas UU ITE berarti harus dikupas secara komprehensif mengingat banyaknya terkandung pasal-pasal karet di dalamnya. Barangkali dibahas pada tulisan berikutnya.
Butir-butir tersebut di atas, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam kehidupan sehari-hari, dan praktik-praktik tersebut tentu saja memunculkan disintegrasi sosial dan berbenturan dengan norma yang berlaku apabila dilakukan. Hal yang membedakan praktik di kehidupan sehari-hari dengan di dunia virtual, yaitu di dunia virtual pengguna hanya fokus pada diri sendiri karena pengguna lain tidak hadir secara nyata karena hanya termediasi teknologi (Hine, 2000). Pengguna merasa lebih bebas dalam menyebarkan tautan karena dalam platform tertentu, pengguna tidak dapat secara langsung melihat ekspresi yang ditunjukkan khalayak.
Menjadi dilematis, ketika praktik-praktik semacam hate speech, flaming, dan bentuk hinaan lainnya dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Hal-hal yang tentu saja akan sangat berbeda ketika diaplikasikan di dunia offline. Terjadinya polarisasi kelompok juga tak jarang melahirkan praktik-praktik semacam ini. Perbedaan nilai tentu saja merupakan hal wajar, namun di dunia virtual, seiring dengan kurangnya identifiability, menghasilkan kurangnya kesadaran diri. Selain itu, adanya bentuk sikap sebagai pelampiasan atau penaklukan diri, yang akhirnya memperpanjang catatan disintegrasi virtual tersebut. Berarti, fatwa dari MUI bukanlah tindakan preventif yang efektif. Serta tindakan represif menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE hanya akan menambah daftar corengan pada muka demokrasi negara ini.

Friday, April 6, 2018

Elegi

Menendang batu kerikil di jalan, tidak pernah mereka lakukan saat berjalan di bawah hujan. Manusia biasanya tidak melakukan hal yang sia-sia seperti itu secara sekaligus. Meskipun banyak manusia itu rakus, tapi bukan untuk kesia-siaan.

Mencoba kembali merunut beberapa pikiran yang lalu untuk dituang ke dalam bentuk tulisan, setidaknya agar cemas ini cepat mereda. Lalu aku bertanya, adakah kecemasan yang lebih besar daripada mencemaskan masa depan? Karena kukira, ada yang lebih menyiksa daripada itu, yaitu rindu. Aku pernah berkata, bagaimana mungkin rindu yang begitu menyiksa ini disebut kebahagiaan? Tapi kukira wajar, lebih baik tersiksa rindu daripada terus diselimuti kecemasan akibat ketakutan menghadapi masa depan. Manusiawi sekali, takut akan hal yang belum tentu terjadi. Aku tak peduli dengan perkataan motivator-motivator pintar itu, yang melarang-larang kita untuk jangan cemas. Bagiku, harapanku muncul akibat kecemasanku, dan harapanku ini yang menghidupkanku, bukan perkataan mereka.

Itu mungkin hanya alasan bagimu, seperti berkata "aku susah jatuh cinta", padahal menurutku, tidak ada istilah susah jatuh cinta. Kita klaim susah jatuh cinta saat mengalami kesendirian, atau jawaban pembenaran menutupi kesepian. Jarang manusia ingin terlihat lemah, tapi kadang saat lemah ingin dikasihani.

Mungkin saatnya menikmati kecemasan, barangkali itu hal yang paling mudah untuk dilakukan. Karena bagaimanapun, jalan keluarnya tetap dari bagaimana kita menyikapinya. Seperti permintaan maaf dari mantan, hanya menambah penderitaan, bagi mereka yang masih merasakan cinta, setelah itu berlalu. Lalu apa hubungannya? Kukira tidak ada. Ingin saja aku untuk sedikit mencurahkannya. Sudah kubilang, aku sedang cemas, kuharap kau maklum.

Berbicara tentang curahan hati, beberapa sajak berhasil kubuat, untuk dia yang masih kurindukan. Untuk dia yang tak pernah kuharapkan untuk bertemu kembali. Aku hanya menyiksa diri dengan rinduku, bukan menginginkannya, bukan. Jangan salah paham.

"Pada akhirnya mereka yang pergi telah melewati dua hal: kebaikan atau keburukan. Menyesalinya atau mensyukurinya, itu juga berarti merelakannya ialah hal yang pasti."

"Kini kau bahagia, setidaknya klaim itu mencukupkanku untuk tidak lagi memikirkanmu apalagi mengharapkanmu kembali, kini kau bahagia."

"Alasanku pergi ialah agar bukan kau yang menderita akibat melepaskan dan mengubur perasaan, seperti aku sekarang."

"Kebencianmu terhadap orang yang (pernah, atau mungkin masih) kau cintai, yang berarti itu aku, adalah yang membuatmu semakin kuat."

Cukup, hanya itu. Cemasku masih tak mereda, meski sudah kualihkan pada rindu, ini menyiksa. Sudah cukup aku mencemaskan diriku sendiri, tak perlu kutambah mencemaskan dirinya juga. Dengan merindukannya, lalu membuat sajak, sedikitnya menambah kecemasanku. Aku cemas jika sajak-sajakku ternyata salah.

Jika menurut Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang menyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan itu setiap manusia diharapkan mampu memunculkan bakat yang dimiliki, serta bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Kupikir saat ini, merindu adalah bakatku, dan aku pun bisa mengembangkannya. Kupikir, aku sangat suka apabila dirindukan. Kupikir, ia juga akan suka, namun aku kembali cemas karena takut ia tidak, karena aku yang merindukan. Aku urungkan niatku untuk mengembangkan bakatku ini. Lebih baik begitu.

Jika cemas ini hanya sekedar menakuti, tanpa mengubah menuju perubahan yang baik, maka betul waktu hanya berlalu dengan percuma. Cemas ini muncul, karena pernah melalui dan mengalami situasi, di mana aku tidak dapat melakukan apapun saat sekitarku membutuhkan pertolongan. Sengaja kugambarkan secara implisit, yang jelas saat itu sangat tidak mengenakkan, bahkan menangis pun aku tak pantas. Bukan dramatisir, bayangkan saja. Sungguh, tidak ingin lagi ada dalam situasi tersebut.

Terdapat konsep dalam setiap pemikiran manusia. Saat tidak dimengerti, barangkali itu masih tampak seperti paradoksal, tidak semua dapat memahami paradoksal. Cemas ini bukan hanya tentang elegi, namun juga menyimpan banyak makna. Tanya sekitarmu, berapa banyak kekuatan itu muncul akibat kecemasan? Cemas nanti hujan, maka membawa payung. Cemas esok tak bisa makan, maka bekerja. Cemas akan mengecewakan, maka berusaha berbuat benar. Dan menghilangkan kecemasan, kukira itu tidak perlu, cukup diredakan, selama itu masih memberimu banyak harapan.

Friday, April 14, 2017

Hoax dan Ilusi Kebenaran

Hoax, atau informasi yang berisi kebohongan bukan hal baru ketika kita membahas mengenai media. Konten semacam ini tidak hanya disebarkan oleh media-media abal-abal yang sering kita jumpai bahkan saat mengakses media sosial. Media mainstream pun sering kali membagikan informasi yang isinya tidak bermanfaat, kebenarannya diragukan, serta mengandung tendensi pada kepentingan kelompok atau individu tertentu, dengan tujuan yang beragam.
Dewasa kini, media literasi seakan tidak cukup untuk menanggulangi masalah hoax, karena nyatanya hoax ini tidak hanya ditargetkan pada khalayak pasif, namun juga menyasar pada siapapun yang dapat mengakses portal media lewat jejaring sosial misalnya. Disadari atau tidak, kita sering menemukan suatu konten yang kita sendiri ragukan kebenarannya, bahkan dengan ringan kita konsumsi bagaikan cemilan sehari-hari. Sama halnya dengan sebuah cemilan, kita sering pula abai mengenai manfaat atas kandungannya dan dibiarkan begitu saja masuk melalui mulut dan dicerna oleh perut kita. Tanpa pengetahuan lebih, kita tidak akan pernah tahu hal tersebut akan berdampak seperti apa terhadap tubuh kita, begitupun ketika kita sering mengkonsumsi informasi-informasi hoax.
Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal yang menyenangkan, dan kita biasanya membaca apa yang ingin dibaca, mendengar apa yang ingin didengar, yang berarti juga kita acapkali mengesampingkan isi informasi yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun ketika menemukan informasi yang sesuai dengan keberpihakan kita, kita cenderung senang terhadap isi informasi tersebut, dan abai pada tahap verifikasi mengenai kebenarannya, sehingga meskipun sumbernya tidak reliabel dan untrustworthy, asalkan bisa dianggap sebagai suatu kebenaran maka informasi tersebut dianggap sebuah realitas.
Media massa telah berkembang dengan sangat pesat, memberikan banyak pengaruh serta mampu membentuk apa yang ada di kehidupan kita. Kita dibuat seakan tidak dapat mengetahui sesuatu hal secara pasti, fakta semakin bias, yang ada hanya interpretasi atas fakta yang kita buat. Lewat hoax, kemungkinan dalam lahirnya identitas-identitas baru pada masyarakat sangat mungkin terjadi, lahirnya ideologi-ideologi baru atau membangkitkan yang telah lama mati menjadi konsekuensi logis atas merebaknya hoax. Kita tidak lagi memperhatikan aspek-aspek budaya dan standar estetika.
Suatu hal tidak akan berbahaya jika berpegang pada sebuah kebenaran, namun akan menjadi gamang ketika sesuatu yang dianggap benar tersebut merupakan sebuah ilusi, sebuah kebohongan, dan kesesatan walau dapat dicerna secara logika. Bukan menanamkan standar kebenaran tradisional yang statis, yang menghasilkan suatu pemikiran paradoksal. Tidak semua orang memahami pemikiran paradoksal.
Penyebaran hoax bisa melalui apa saja, termasuk mitos. Ada pengeksploitasian mitos sebagai media komunikasi. Roland Barthes dalam buku Alex Sobur yang berjudul Semiotika Komunikasi (2009), mengemukakan bahwa mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga, dan televisi. Berbicara mitos tentu tidak dapat mengesampingkan ideologi, terdapat kaitan erat antara mitos dan ideologi. Van Zoest berkata, bahwa “ideologi harus dapat diceritakan,” dan cerita itulah yang disebut mitos. Hoax menjalar dari cerita, dari mitos. Ketika hoax ini dianggap sudah menjadi bagian dari realitas dan mengkonstruksi sikap dan opini masyarakat, maka akan muncul ideologi-ideologi baru yang dikhawatirkan mengandung tendensi yang dinilai berbahaya dan merugikan; pembodohan, kepanikan, terror, penyebaran kebencian, radikalisme, dan bahaya lainnya.
Mempercayai hoax tidak berbeda dengan menganggap kebenaran hanya sebagai kebutuhan subyektif manusia, sesuatu yang dianggap sebuah properti yang dapat dimiliki. Menganggap tindakannya benar, meyakini kebenaran yang dianutnya sekalipun berdasarkan suatu kebohongan.
Kebenaran akan menampakkan wajahnya, bukan hanya sebatas ilusi. Ilusi-ilusi rendahan seperti hoax dapat diminimalisir, dapat diberantas. Kita tidak akan pernah cerdas dalam bermedia selama kita tidak mampu sadar dari pengaruh ilusi tersebut. Jejali kepala kita dengan bacaan-bacaan, tontonan, dan aktivitas lain yang bermanfaat, dengan begitu literasi media kita akan terus meningkat, dan itulah pendorong penting dalam upaya pemberantasan hoax. Selalu lakukan verifikasi setiap mendapatkan informasi yang dirasa meragukan. Verifikasi terhadap kebenaran mengenai isi informasi sungguh sangat penting, namun tidak cukup hanya sampai tahapan tersebut. Kita wajib menimang dan mempertimbangkan sebuah informasi yang sudah kita verifikasi tersebut apakah bermanfaat atau justru menimbulkan kemudharatan, sebelum memutuskan untuk men-share ulang atau tidak informasi tersebut.
Belajar dari pengalaman para pendahulu kita, bahwa kita tidak boleh lagi acuh serta apatis terhadap nilai-nilai suatu informasi. Pernah terjadi ketika Pearl Harbour diserang, banyak warga Amerika saat itu yang tidak mempercayai informasi tersebut, karena 3 tahun sebelumnya sebuah stasiun radio di Amerika pernah menyiarkan sebuah cerita tentang invasi dari Mars ke Bumi, yang disela oleh sebuah laporan cuaca. Spontan hal ini dianggap sesuai seperti narasi dalam cerita tersebut. Kepanikan terjadi, kantor kepolisian dibanjiri panggilan-panggilan bahaya, bahkan banyak orang-orang yang mempersenjatai diri mereka dan melarikan diri ke pegunungan. Inilah bahayanya, akan banyak kerugian yang dialami jika kita mempercayai hoax, dan kerugian yang paling besar ialah jika masyarakat berubah menjadi apatis, abai, dan enggan lagi membaca, mencari, dan mengetahui suatu berita. Seakan-akan itu merupakan sikap yang benar, walau nyatanya hanya terjebak dalam sebuah ilusi yang malah kita sendiri jaga agar tidak dapat dihancurkan. Semoga kita bisa tidak seperti itu.

Thursday, December 22, 2016

Gayung Bersambut

Not try to show you part of me, no one else can find. Estetika sebuah pertahanan diri yang mulai gugus seiring waktu. Tembok kokoh pernah dibangun, bahkan diperkuat, dijaga, tak seorangpun diijinkan untuk masuk. Silahkan, bagi mereka yang ingin sekedar mengintip, dan nilai sesuka kalian. Aku tak akan pernah perduli.

Makna sering disalah arti, tanda tak pernah selalu pasti. Kita sering salah, dan akan salah lagi. Lepaskan apa yang tidak sesuai dengan anganmu, lihatlah apa yang ingin kau lihat, dengar apa yang ingin kau dengar, cium apa yang ingin kau cium. Meski dengan begitu kau menjadi cukup picik sebagai seorang manusia.

Apa yang tidak kau mengerti adalah apa yang harus kau cari, apa yang tidak kau pahami adalah apa yang harus kau pelajari. Pernah tertarik untuk membaca sebuah buku bukan berarti ingin untuk memilikinya, pernah memuji bukan berarti menyukainya. Masih berani menafsirkan apa yang tidak kau pahami? Setidaknya kita pernah mencobanya, walau gagal. Disukai itu menyenangkan, diperhatikan itu menenangkan. Jangan disalah arti, kebaikan tidak harus selalu menyembunyikan maksud. Kita hidup di satu zaman tapi mungkin dalam perspektif yang berbeda, tidak perlu gusar, tidak perlu berlebihan, semua yang menurut Anda (kalian) tampak rumit sebenarnya sangat sederhana. Tidak lebih rumit dari jatuh tempo sebuah cicilan.

Yang menjadi pertanyaan, adakah yang pernah dihubungi malam hari, bertukar suara yang berat, menggema untuk membahas sesuatu yang tidak pernah penting namun berarti? Atau dimintai pendapat soal warna sepatu yang bagus? Minimal dua itu saja, ada? Jika tidak maka kekhawatiran, asumsi, pendapat, claim, dan pengamatan anda (kalian) selama ini artinya hanya sekedar apa yang ingin kalian yakini. Karena nyatanya tidak seperti yang dirumitkan.

Pada akhirnya mereka yang pergi telah melewati dua hal: kebaikan atau keburukan. Menyesalinya atau mensyukurinya, itu juga berarti merelakannya ialah sebuah hal yang menjadi semestinya.


Seorang pria tua pernah bertanya, “apa yang kau sukai, Nak?”

“Aku tak pernah benar-benar menyukai sesuatu begitu dalam, hingga harus aku ingat-ingat dan kuceritakan pada orang lain.” Jawabku.

“Kalau ada yang menyukaimu? Pasti kau akan bahagia, lalu kau ceritakan pada orang lain.” Pria tua itu percaya diri.

“Aku pasti senang, namun menceritakannya pada yang lain bukanlah berbagi senang, namun menyuapkan ego dan kesombonganku yang dipaksakan untuk mereka makan, mereka cerna.”

“Ternyata, kau tidak pernah berubah, selalu sulit ditebak, bahkan di lingkungan keluargamu sendiri, anakku.”

“Di lingkungan manapun tepatnya, Pih.”

Banyak mata yang dirasa terlalu fokus pada satu titik, menilai berdasar apa yang tampak, membedah apa yang tersirat. Bagaimana bisa melihat seperti apa isi rumah jika hanya menengadahkan kepala dari luar halaman? Jika ada akan kuangkat topi dan tepuk tangan dengan penuh apresiasi.
Jika tidak, tak mengapa.

At least we tried :).

Saturday, April 30, 2016

Satu Kalimat Yang Tak Sempat Kuucap

It has to end to begin. Hanya awal yang menjadi begitu sangat indah. Akhir ini pahit, meski sudah pernah aku duga. Ia yang mengakhiri cerita ini bukan dengan cara berpaling, bukan dengan penolakan. Ia mengakhiri dengan elegan; menerima pinangan pria yang bukan aku. Aku kalah, meskipun ini bukan kompetisi. Aku marah, namun entah pada siapa. Aku lemah, walau tak ada yang menekan. Sebab mungkin karena aku tak mampu untuk menyalahkan siapapun, menyalahkan apapun selain diriku sendiri. Padahal hanya dia yang benar-benar kuinginkan, namun Tuhan tidak menghendaki.

Hanya sanggup sampai tahap mencintai, namun untuk dapat memilikimu butuh lebih dari sebuah mukjizat. Tuhan maha mengetahui, termasuk doaku, namun tampaknya ia lebih senang menyelamatkanmu agar tidak bersamaku.

Aku tak pernah bicara pengorbanan, sebab apalah kemurnian dari sebuah pengorbanan jika dihitung. Aku juga tak pernah bicara cinta, sebab apalah arti cinta jika diucapkan saja tidak pernah. Meskipun aku pernah bermaksud untuk mengucapkannya padamu, namun Tuhan benar-benar menyelamatkanmu. Kau tentu ingat saat kepulanganku dari Jepang, dan sakitmu saat itu adalah bentuk penyelamatan dari Tuhan sehingga kau tak dapat kutemui hingga waktu liburmu telah habis. Kau pun kembali ke Jerman. Tuhan juga tahu bahwa aku akan terluka, hanya saja aku yang terlalu bodoh menyadari itu semua, melawan kehendak-Nya. Tuhan tahu karena selalu ada namamu dalam setiap doaku. Setiap doa demi kebaikanmu pasti Ia kabulkan, namun doaku untuk dapat memilikimu tidak Ia hiraukan. Yang berarti bahwa aku bukanlah kebaikan tersebut. Pria yang kau pilihlah kebaikan itu.

Tidak mengapa, hidup tak terlalu jauh dengan luka, setidaknya bagi diriku. Pain made me grow up. Dan asal orang yang dicintainya bahagia, bukan? Aku tak pantas menangisi, kau tak pernah menyakiti. Aku tak pantas bersedih, pilihanmu ialah doaku juga. Namun aku tak dapat memungkiri bahwa aku sedang berusaha berbahagia, walau nyatanya aku tak mampu. Aku pikir ini cinta, entahlah. Yang jelas untukmu kubuatkan buku saat yang lain hanya kubuatkan puisi, kubuatkan syair.

Pada akhirnya Tuhan mengabulkan doaku untuk dapat melihatmu, menemuimu. Bukan di The Loft tempat kita pertama kali makan malam, bukan pula di Sober tempat kau habiskan rasa penasaran. Atau, di manapun tempat aku bisa utarakan kalimat yang tak sempat kuucap, bukan. Aku melihatmu saat kau bersanding dengan pria pilihanmu. Aku menemuimu sebagai tamu. Yang artinya, itu mungkin menjadi yang terakhir kalinya aku menemuimu. Tak akan kutulis selamat berbahagia di sini. Seperti kubilang, selalu ada namamu dalam doaku.

Final Surprise

i wrote book for you when i only make poetry for others.

Sunday, December 6, 2015

Membirukan Senja

Sering kita sadari setelah beberapa tahun kemudian, setelah hal lalu hanya dianggap lelucon, saat masa-masa itu merupakan hal yang tidak lagi dirasa indah, kemudian kita menyatakan bahwa ternyata mungkin apa yang kita rasakan saat ini akan berlaku sama dengan masa lalu yang kita anggap tidak lagi indah ini. Namun setidaknya kita pernah berusaha, atau minimal kita pernah menginginkan kehidupan ideal, yang nyatanya... penuh omong kosong.

Tidak sedang memerankan seorang tokoh, menjadikan alur terjadi seperti sur-realisme bukan pula menjadi tujuannya, namun akhir adalah akhir. Mungkin mereka dapat menyimpulkan tentang pertemuan berikutnya, kejutan selanjutnya, kemungkinan yang tidak pernah menurutkan harapan, yang sebenarnya hanya sebuah angan belaka, tak lebih. Ketika dibenturkan dengan kenyataan sesungguhnya, saat merasa bahwa hidup ini ternyata penuh omong kosong, diisi melulu soal kekecewaan, tidaklah terlalu kejam untuk memaki bahwa hidup tak pernah adil. Hanya raut muka yang dapat menutupi, namun perasaan tak dapat dipungkiri. Kopi pahit tetaplah pahit, tidak bisa berpura-pura bahwa itu manis. Pun kebahagiaan, kesedihan tetaplah menyedihkan, tak seharusnya berpura-pura bahagia. Adapun yang bisa seperti itu, ia hanya sedang bersandiwara. Dan sandiwara terburuk dalam kehidupan yaitu berpura-pura bahagia.

Kita pernah bahagia, kita harus. Kita pernah sedih, kita juga harus. Lalu seperti apa bahagia itu? Sebuah tujuan kah? Atau sebuah hadiah? Yang kita tahu, setiap mencapai tujuan tidak selalu mendapat hadiah, dan saat mencari hadiah belum tentu itu menjadi tujuan. Namun sepertinya kekecewaan sering datang pada mereka yang menjadikan hadiah sebagai sebuah tujuan.

Seseorang pernah berkata, dan bahkan mungkin ia pernah melakukannya, bahwa perjuangannya bak membirukan langit senja yang jelas-jelas selalu merah. Perumpamaan yang bagus untuk sebuah kesia-siaan, konotasi tentang kemustahilan, yang juga menyimpan perasaan sangat mendalam, kesan yang tak akan terlupakan, dan ketidakberdayaan. Secuil saja harapan hinggap, selamanya ia akan berpikir bahwa itu mungkin terjadi. Hidup tak harus selalu begitu, sayang. Lebih baik jika keniscayaan kau gunakan untuk sesuatu yang lebih layak bagimu. Ada masa yang seharusnya tidak diulang kembali. Jika itu manis nikmatilah, jika itu pahit telan sajalah. Keduanya sudah sama-sama kau ketahui di awal bahwa itu merupakan sebuah konsekuensi dalam salah satu dari ribuan tatanan kehidupan, juga representasi kehidupan. Only you can choose what you wanna see.

Aku selalu senang jika diharapkan, juga akan menjadi takut ketika terlalu diharapkan. besar-kecilnya harapanmu adalah yang menentukan tingkat kekecewaanmu. Dan tak ada yang lebih menyedihkan selain dikecewakan, aku kira. Bukan bagaimana dikecewakan, tapi seberapa besar harapan itu kau bangun. kau bisa menjadi apapun, tapi tak dapat membuat siapapun selalu seperti inginmu.

Mengharapkan akhir bahagia bukanlah sebuah ketamakan, semua berhak mendapatkannya. Namun jika itu bukan konotatif maka akhir bagi manusia berarti mati. Dan jika seumur hidup kita selalu memiliki harapan, mungkin tidak pada saat mati. Maka harapan ialah ciri kita hidup. Harapan membuat kita tetap hidup, namun juga bisa membunuh kapan saja. Banyak orang bahagia, dan tak sedikit pula yang menderita akibat mengejarnya.

Dan ingat senja yang selalu merah, walau kita terus mencoba membirukannya. Kesia-siaan itu berawal ketika kita menganggap manusia seperti senja, kenyataannya kita bukanlah senja. Kita berusaha membirukan senja padahal selalu tahu bahwa senja hanya akan melegam.

Monday, October 26, 2015

en-a-ef

Hanya sanggup sampai tahap mencintai, namun untuk dapat memilikimu butuh lebih dari sebuah mukjizat. Tuhan maha mengetahui, termasuk do'aku, namun tampaknya Ia lebih senang menyelamatkanmu agar tidak bersamaku.

-ir

Thursday, July 30, 2015

Pengakuan Seorang Pecundang

Duduk menunggu antrean biasanya menyebalkan, sebelum akhirnya tiba seorang Ibu duduk di sebelah saya lalu mengajak saya ngobrol. Panjang kami mengobrol hingga akhirnya ia bertanya tentang pernikahan. Saya pun menjawab jika saya tidak terlalu tertarik dengan pernikahan, ia tanya kenapa. Saya hanya tersenyum, kemudian ia memberikan sedikit statement bahwa pernikahan itu mungkin dibutuhkan, selain untuk memiliki keturunan, juga untuk mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan tidak sepenuhnya benar, harus ada yang mengingatkan. Orang tua tak selamanya dapat menemani kita. Lalu ia tersenyum, ia pun bilang selama ini suaminya tidak banyak melakukan apa-apa, selain membantunya bahagia, itu saja lebih dari cukup, lalu kebahagiaan itu bertambah datangnya dari anak-anak mereka. Ia bilang tidak mau mati dalam keadaan sendiri, kesepian. Karena tidak ada penderitaan yang lebih mengenaskan daripada kesepian. Happiness is you've always known you're not alone.
Saya tersenyum, terharu.. 
Kemudian saya tersedak ketika Ibu tersebut bertanya apakah tidak ada wanita istimewa yang benar2 saya inginkan untuk menemani saya di kemudian hari. Saya jawab ada, namun saya sudah tekan perasaan itu beberapa tahun ini, saya hampir merelakannya, membiarkannya bahagia dengan jalannya sendiri, saya mencintainya.. namun saya tak mau terlalu memaksakan apa yang tidak saya sanggupi. Ia menanggapi, bahwa sebelumnya ia tak pernah mengira akan bahagia bersama suaminya, namun suaminya bisa membuat hal yang menurutnya tidak mungkin, menjadi sangat mungkin, dan ternyata ia bisa. Kemungkinan itu selalu ada. Saya malu, kemudian mengakui bahwa saya hanyalah seorang pecundang. Ia tertawa, disanggahnya saya bahwa saya mungkin hanya seorang pengecut, sudah melewati asam garam kehidupan tapi terlalu berhati-hati, takut menghadapi kenyataan, dan akhirnya tidak terlalu berani mengambil risiko. Saya tersipu, mengiyakan perkataannya. Kemudian ia pamit, entah kemana.
Banyak yang bisa saya petik dari obrolan yang tak terduga itu, namun sayangnya.. tetap tak dapat mengubah ketertarikan saya terhadap pernikahan. Iya, saya mungkin terlalu pragmatis.

Sunday, November 2, 2014

Promises

Tentang mereka yang menyimpan sebuah janji, mengharap pada sesuatu yang hanya bisa dirasakan, yang dipendam cukup lama. Entah mengapa tersimpan kebahagiaan dibalik rasa sakit ini, muncul perasaan lega didalam kenyataan pahit, dan merasa segalanya telah usai.. hanya tinggal memulai kembali dari awal semula. Terpikir bahwa segala kegagalan merupakan jalan lain, cerita lain tentang kehidupan bahwa kita tak selalu dapat menyatukan sebuah harapan dengan realita secara terus-menerus.

7 tahun bukanlah waktu yang begitu singkat bagi seseorang yang menyimpan sebuah harapan besar, menyembunyikan janji yang hanya akan disebutkan pada saat harapan itu menjadi nyata, atau bahkan pada akhirnya kita kembali kepada rasa cukup.. merelakan. Tidak ada rumus dan ilmu pasti mengenai cinta yang bertepuk sebelah tangan, mengenai cinta pertama pun begitu. Pahit dan indah hanyalah sebuah perspektif. Sebagaimana kadarnya yang membuat kita menjadi seperti orang gila, seperti hilang kesadaran pada umumnya, juga tidak begitu memperhatikan gejala yang ada di sekitar.

Ada yang hilang, lalu tersisa perih.. dimana kita dipaksa merelakan, seakan tidak berdaya melawan saat sebuah belati yang berkarat menghujam jantung. Setelah belati tersebut dicabut dari tubuh ini, masih ada karat yang tetap menempel di sana sehingga menjadikan potensi untuk sembuh semakin kecil apabila mampu bertahan. Dan itu, pada saatnya akan mengerti tentang sebuah kerelaan hati, akan memahami tentang banyak sekali hal yang tidak dapat kita miliki, dan melangkah pergi menghadapi itu adalah sebuah keharusan, terpaksa atau bahkan dengan kerelaan hati.
Penantian itu bukanlah sia-sia, meskipun berakhir dengan kekecewaan. Ternyata harapan tak selamanya berakhir indah, ada hal yang tidak bisa kita pahami jika bergejolak dalam sebuah perasaan yang begitu dalam.

Ada cerita tentang penantian panjang, butuh waktu lebih dari 7 tahun untuk dapat mengetahui apa akhir dari cerita itu, tentang penantian itu.
Minggu cerah menjadi kelabu, setidaknya pada suasana hati. Berniat baik dalam menjalani aktivitas tak melulu harus datar lalu tanpa cerita lain yang tertulis. Bahkan saat lari pagi pun kita bisa mendapatkan cerita lain yang sebetulnya tidak berhubungan sama sekali. Saat lari pagi kita bisa saja mendapat sebuah wedding invitation dari seseorang yang benar-benar kita cintai, cinta pertama. Dan, itulah yang terjadi. Seketika kaki ini seakan tidak dapat digerakkan, leher tak mampu menopang kepala, dan badan seakan sangat kelelahan seperti telah memikul tiga karung beras secara sekaligus.

Hingga pada akhirnya janji itu disebutkan, diutarakan, dan diceritakan kepada orang-orang terdekat yang membantu menolong di perjalanan pulang saat berlari itu. Lari itu terhenti, yang bisa dilakukan hanya duduk terkulai lemas. Isi janji itu memiliki esensi yang cukup dalam, karena ada penentuan mengenai langkah setelah itu.

“Aku akan terus berharap, sampai harapan ini mati. Aku akan terus menunggu, sampai terjawab semuanya. Aku akan terus terus dan terus mengusahakan agar dia lah wanita itu, wanita disampingku. Berapa lama aku berharap, berapa lama aku menunggu, selama itu pula lah aku tidak akan menikahi wanita manapun. Sampai akhirnya, aku.. atau pria lain itu yang akan dinikahinya." Seperti itu.

Kini, tepat minggu depan semenjak tulisan ini dibuat.. adalah sebuah peristiwa dimana harapan itu mati, waktu menunggu itu telah habis, dan cerita tentang itu telah menemui akhir.

Terima kasih, begitu banyak pelajaran yang didapat. Meskipun hubungan pada waktu itu tidak lebih lama dibanding penantiannya. Tidak perlu menyalahkan apa-apa, kesempatan itu tidak pernah ada.



I hope you'll get a better life, my first..

Friday, July 4, 2014

Kehadirannya part III..

tidak pernah kita sadari darimana awal mula sebuah hal terjadi, termasuk pertemuan...
hidup tak melulu soal kebahagiaan, hidup tak melulu membahas kesempurnaan..
oleh karena itu, aku ada..
sebagai potensi, menjadi yang diharapkan, atau bahkan tidak diinginkan sama sekali..

bukankah menyedihkan ketika selalu dihadapkan pada kegagalan?
bukankah kita selalu belajar dari apa yang telah kita lalui, bukankah kita?

Mungkin... mereka yang pernah singgah memang sudah digariskan bersama yang lain..

ada pertemuan, ada perpisahan, ada duka, ada kebahagiaan..
semua terjadi begitu saja.. kali ini berkaca diri, juga memperbaiki diri..

menari sejenak atas apa yang telah dilalui
semua tahu, bahwa hidup memang seperti ini
gemerlap kehidupan tak semata menjadi diri tahu akan apa yang dicari
semua bodoh, semua memang bodoh..terlebih untuk mengakui..

cahaya yang sudah meredup, energinya kian pudar..
perlu menatap apalagi, saat semua harap terbawa asa, dikalahkan harapan mereka..
yang tak lagi bersama..
sesuatu itu layak setelah ada pengakuan..
pengakuan berasal dari kesepakatan
kesepakatan muncul atas perasaan yang sama..
jadi saat semuanya tak sama, itulah pilihan, pilihan berisiko..

mengharap kesempurnaan pada realitanya adalah menolak dan menyisihkan mereka yang tidak sesuai dengan kriteria.
hidup selalu ada kriteria.

ada yang hadir, apakah sebagai pembelajaran kembali, atau inilah justru yang dicari?
aku lelah, aku lelah terus menerus dinaungi lingkaran hitam penuh kebohongan..
aku jengah, aku jengah jika hanya terus mendengar janji yang selalu semu..
aku mengejar cahaya, bukan bayangnya..

lebih baik menguatkan pondasi diri, daripada berharap pada janji-janji yang merupakan potensi kekecewaan saat itu diingkari.
menamai itu cinta bukanlah sebuah hal rumit.
hanya saja ketika ego mendominasi, maka cinta..
adalah seperti apa yang ada dalam pikirmu.

senyuman itu ada artinya.. walau bersumber dari sebuah teks..
pikiran itu tidak terganggu, jika karenanya kita dapat tersenyum bahagia..
bukan menyembunyikan luka..
makna tersimpan, ada perjuangan, ada hati yang diharapkan..
cahaya.. semoga itu cahaya..

dan tak hitam... hanya gelap..
cahaya setitik akan tetap menjadi penerang, bagi mereka yang tahu bagaimana menikmati kesederhanaan.

Tuesday, September 10, 2013

1 Pilihan Pada 2 Mimpi yang Berbeda

Sebuah janji telah terucap, hanya ketika tersadar akan mereka yang pernah meninggalkan luka maka itu menjadi rumit. konstruksi pikiran kita tidak sepenuhnya mampu untuk menopang segala bahan yang menjadi beban di otak. Dalam hati ada cinta, dalam pikiran ada objek yang dicinta.. Tak serta merta kita dapat melupakan apa yang menjadi impian, terlebih ketika "bangunan" kepercayaan pernah runtuh dan sulit untuk disusun kembali.

Impian, merupakan pencampuran daripada hasrat keinginan dan susunan rencana-rencana ideal dalam rangkaian pikiran kebahagiaan yang dinilai dapat menciptakan sebuah ketenangan dalam diri, meskipun itu tidak menjamin segalanya. Impian tak melulu menjadi fatamorgana, impian dapat diciptakan, impian dapat diwujudkan......bagi mereka yang percaya tentunya.

Entah, bagi sebagian orang ketika mengingat impiannya sendiri merupakan sebuah kesedihan yang mendalam, seperti sebuah kekecewaan atas apa yang telah terjadi dan mempersalahkan langkah juga diri sendiri tanpa henti.

Perlahan, ketika mimpi itu mendekat pada sebuah kenyataan...sedangkan kondisimu sekarang sedang terisi mimpi lain yang kadarnya berbeda, tidak kurang, akan tetapi hasratmu pada mimpi yang mendekati itu menjadi lebih menggebu mengingat mimpi lain itu kepercayaannya pernah runtuh. Lantas apa sebenarnya yang terjadi ini?

Menjatuhkan 1 pilihan pada 2 mimpi yang berbeda, membutuhkan sebuah kebijaksanaan yang luar biasa. Kebijaksanaan tidak berdasar pada keinginan, kebijaksanaan tidak berdasar pada nafsu, kebijaksanaan tidak berdasar hasutan. Kebijaksanaan terlahir atas dasar pemikiran jernih seorang manusia yang mampu mempertimbangkan segala sesuatu dengan seluruh aspek positif serta negatif yang akan terjadi. Intinya, kebijaksanaan ini ialah memutuskan dengan menyesuaikan kemampuan.

Ini hidup, ini hidup.. Hal luar biasa apalagi yang akan terjadi di depan? Kompensasi atas seluruh kerja keras dan pembelajaran-pembelajaran hidup, akan setimpal.
Kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan, setimpal dengan apa yang telah kita lakukan.

Kita, makhluk lemah yang memiliki impian sangat besar, bahkan otak kita kadang tak mampu menopang mimpi tersebut, minimal menjadi kenyataan.
Tetapi ketika mimpi itu menjadi kenyataan, kita tak tahu harus berbuat apa....

Itulah salah satu bukti kelemahan...

Thursday, August 22, 2013

Urgently Required

Hallo there!

Gue lagi butuh freelancer-freelancer nih yang udah berpengalaman atau yang biasa nge-eksekusi event/konser musik.
Domisili Bandung diutamakan, tapi kalo ga keberatan buat bolak-balik Bandung-Kota elo, ga masalah selama biaya ditanggung pribadi ya, tapi kalo sewaktu ditugasin biaya akomodasi, transportasi dsb ditanggung kantor.

gue butuh buat posisi:

- Stage Manager
- Area / Floor Manager

Syaratnya ya itu, kalo orang EO pasti ngerti deh :D
- Siap diberangkatin ke kota manapun, pulau manapun di Indonesia dari Agustus akhir - awal Desember.
- Terbiasa me-threatment artist Grade A dan B (misal grade A: NOAH, Ungu, dll. Grade B: Five Minutes, Superman Is Dead, dll)
- Public Speaking
- Punya nyali gede
- Sisanya ngobrol-ngobrol aja dulu deh biar jelas

Kalo minat, silahkan kirim CV sama aplikasi ke:

irdunisme@gmail(dot)com




Monday, July 22, 2013

Arsip 24 Maret

Aktivitas sebenarnya bukan sebuah masalah besar akan rutinitas membaca dan menulis, hanya saja mungkin teralihkan oleh hal yang dijadikan rutinitas sementara. Entah kemana saja, atau darimana saja, yang sungguh tidak terasa jika tulisan ini baru kembali dimulai (mungkin) setelah sekian lama tidak pernah disentuh.

Ada yang datang ada yang pergi, fase demi fase dilalui begitu saja. Entah kemana resolusi-resolusi dulu, ketika dihitung mungkin beberapa saja yang dapat terealisasi, entahlah.. hidup memang seperti ini. Berbicara soal kehilangan, sepertinya tidak seorangpun yang tidak merasa takut kehilangan.. Terlebih sesuatu itu penting, berarti, bermakna, dan sangat membekas.

Beberapa bulan lalu, kehilangan yang sangat besar begitu terasa (hingga saat ini). Yang tidak akan pernah terganti, yang akan selalu ada dalam lubuk hati yang terdalam, yang selalu menjadi cinta pertama, yang selalu menjadi orang yang paling tulus.. dalam segala kondisinya, Mama ..

Penyesalan itu hinggap ketika janji-janji yang pernah terucap sudah dirasa sia-sia tanpa adanya kehadiran beliau meski itu terealisasi, meski nyatanya tidak ada yang sia-sia. Bukan hanya soal janji, bukan hanya soal balas budi.. Minimal membuatnya semakin sadar bahwa anaknya ini benar-benar mencintainya, ingin melihatnya bahagia.. dan beliau dapat pergi dengan tenang.

Ada cerita dibalik ini,
selalu ada cerita ..
dalam perpisahan, serta pertemuan
selalu ada cerita ..

Monday, December 31, 2012

Catatan 31 Desember, 2012

Rumah Mama, malam kedua semenjak kondisi Mama semakin buruk dan merasakan waktunya sudah dekat menuju ajal. Seluruh keluarga dipanggil satu-persatu untuk dimintai maaf, kolega, hingga tetangga pun Ia sebutkan. Suasana sedih dan haru meliputi rumah kecil ini. Air mata dan isak tangis tak hanya dicurahkan oleh keluarga, tetapi yang hadir pada saat itu ikut merasakan kesedihan yang teramat dalam itu.
 
Malam ini, masih merasakan sakit pada bagian betis, sedikit pegal mungkin. Efek kemarin berlari sekuat tenaga dari jarak sekitar 3km saat mendengar kabar dari Kakak tentang kondisi Mama, kebetulan yang saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju sana. Hanya saja macetnya kota Bandung sedikit menghadang. Hari Sabtu, seperti biasanya.
Aku yang pada saat itu duduk disamping kursi kemudi, langsung membuka pintu mobil dan langsung berlari menuju rumah Mama, karena kemacetan itu dirasa akan sangat lama untuk dilewati, aku takut tak cukup waktu. Ditambah ketakutan akan panic attack, karena kakakku yang duduk di kursi belakang sudah menangis sejadinya.
Pada malam kedua ini, sedih rasanya saat menjaga Mama, memang semenjak hari pertama seluruh anak-anaknya semua menginap disini, kecuali anaknya yang ke 3, yang harus pulang ke Jepang meskipun tadinya Ia ingin mengurungkan niatnya untuk pulang.
Aku menjaganya sampai pukul 04.30, memberinya minum, membetulkan posisi tidurnya, mengelus tangan, kaki, serta punggungnya, dan mendengarkan Ia berbicara meskipun terbata-bata.
Semangat Mama sangatlah luar biasa, hanya saja akhir-akhir ini Ia sering mengeluh tidak kuat, capek, sakit. Bahkan tadi, Ia memohon Malaikat Maut untuk segera mencabut nyawanya, benar-benar seperti mendengar sebuah petir yang menggelegar.
Bagian paling membuat suasana ti'ing adalah saat Mama memaksakan menggerakkan tangannya untuk mengusap kepalaku, dengan susah payah Ia berkata "kasihan anak Mama, sebentar lagi ditinggal Mama". Hanya pada malam ini, atau memang semenjak kejadian itu, aku seakan seperti orang bisu, yang kebingungan untuk mengucap sepatah kata pun, entah kenapa.
Ada pula, saat Mama ingin duduk, dan kepalanya menyender pada bahu Apihku (Ayah). Seraya itu juga Apih memeluk Mama, sungguh hanya aku saksi hidup pada saat itu, indah.. Benar-benar sesuatu yang indah.
Akupun tersadar sebuah hal, Cinta.
Cinta sejati Mama, adalah Apih, Ayah kandungku.
Cinta kalian abadi
Dikaruniai anak-anak yang sangat mencintai kalian

Thursday, December 13, 2012

Mama :(

Tak pernah terpikir sebelumnya, bahwasanya perjalanan seseorang ada pada tahap pemberhentian. Tak terlepas tujuan itu sudah terselesaikan, atau terlupakan seiring waktu yang semakin hari semakin tak terasa berlalunya. Entah ujung jalan itu tergambar seperti apa, yang jelas setiap insan memiliki sebuah pencapaian dalam perjalanannya itu. Dan aku selalu meyakini bahwa sebuah kesederhanaan akan jauh lebih bermakna.
Semangat itu fluktuatif, semangat itu tidak menentu. Dan terkadang semangat yang menggebu-gebu akan mengalami penurunan secara bertahap. Kondisi yang membuat kita dapat selalu membuka mata agar lebih realistis dalam menjalani segala sesuatunya.
Ada cerita, tentang seorang wanita luar biasa yang memiliki semangat juang besar dalam hidupnya, yang terus bertahan melawan penyakit yang sedang dideritanya, Mama. Sekitar 8 tahun lebih beliau seakan berperang melawan sakitnya. Diabetes menurut catatan medis. Hanya saja keadaan ini semakin diperparah dengan komplikasi pada organ-organ dalam yang lainnya, yang juga disebabkan oleh diabetes itu sendiri karena penyakit ini menggerogoti organ-organ dalam siapapun pengidapnya.
Semangat itu tak pernah surut, meski pada kenyataannya entah berapa kali beliau harus keluar masuk rumah sakit pada tahun 2012, tidak terhitung.
Ada yang begitu mencengangkan, ketika membaca sebuah pesan dari kakak yang sedang menjaga beliau. Kakak mengabarkan bahwa kondisi Mama semakin memburuk setelah sekitar 2 minggu yang lalu keluar dari rumah sakit. Kakak memberitahu bahwa sekarang Mama mengalami sesak nafas, dan selalu mengeluhkan kesulitan dalam bernafas. Dan begitu kaget bahwa beliau meminta maaf kepada Apih (Ayah) dan juga semua anak-anaknya, beliau juga meminta semua anak-anaknya agar berkumpul dirumahnya karena beliau merasa waktu nya sudah semakin dekat...
Entah ini apa, pertanda apa. Aneh rasanya mendengar Mama seakan sudah tidak semangat lagi, biasanya beliau bukan hanya bersemangat tapi juga bisa memberikan motivasi kepada semua anak-anaknya, luar biasa bukan?
Apapun itu, apapun yang terjadi. Aku hanya berharap kondisi Mama akan terus membaik, secepatnya.  Menyesal rasanya ketika menerima kenyataan bahwa aku sendiri belum dapat menjadi seorang anak yang membanggakan, yang membalas segala jasa-jasanya, membahagiakannya terutama. Meskipun usaha untuk mencapai itu tidak pernah berhenti. Ada hal yang mengganjal, ketika merasa bahwa selama ini aku hanya bisa menyusahkan beliau saja.
Tangisanku tak dapat tertahan, ketika mendengar bahwa Mama hanya menginginkan anak-anaknya berkumpul. Dengan segala yang dideritanya, beliau masih menunjukkan bahwa kesederhanaan itu jauh lebih bermakna. Terima kasih, Mama...
 
 
Blogger Templates