Social Icons

Pages

Tuesday, April 20, 2010

Mencoba Pahami Keraguan

Pernahkah kita tersadar di setiap langkah yang kita jejakkan itu disertai dengan sebuah keraguan? Terlepas seberapa besar dan kecil sebuah keraguan itu, dengan keyakinan yang besar dapat menjadi sebuah bagian dan sekat yang berbeda. Mari fahami semua itu, karena setiap pertanyaan selalu muncul di otak kita hingga menstimulus sikap yang nantinya dimunculkan.
Keraguan itu sering muncul setiap akan melakukan aktivitas, dan timbul pertanyaan-pertanyaan di dalam diri sehingga muncul sebuah suggesti yang meyakinkan diri kita mampu ataupun tidak, tetapi jika disadari lebih dalam, tidak ada kata tidak bisa apabila mempercayai analogi segala kemungkinan itu dapat terjadi.
Benar sekali adanya, karena yang menstimulus semua itu adalah suggesti yang keluar di dalam diri kita sendiri, semua orang pasti bisa jika ia yakin bahwa ia bisa, dan semua orang pasti tidak bisa jika ia yakin tidak bisa. Dari mana tolak ukurnya? Kemampuan? Pengalaman? Pernahkah terfikir jika kemampuan dan pengalaman itu adalah hal yang telah dilakukan sebelumnya? Dengan sebuah proses pembelajaran, dan niat untuk mencobanya, sehingga muncul sebuah hasil, apapun itu. Terbayang hal yang belum pernah dilakukan? Atau bahkan masih ragu untuk mencobanya?
Meskipun sebuah keraguan itu muncul dari dalam diri, tetapi hal itu seharusnya tidak berpengaruh dalam percobaan dari sebuah proses.
Akan tetapi, berbeda kasus dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sedang dirasakan atau bahkan difikirkan, seperti "apakah dia mencintai kita?". "Apakah kita mencintainya?", segala kemungkinan selalu terkumpul di dalam otak, pertimbangan dari setiap ucapan, sikap, dan perasaan, justru itulah yang menstimulus otak kita. Timbullah sebuah persepsi, dimana hal itu diyakini untuk beberapa saat sehingga muncul keraguan-keraguan selanjutnya. Jangan pernah menganggap sepele perkara ini, karena persepsi dan suggesti dari diri sendiri juga menentukan setiap proses pencarian hasil.
Aku sendiri meyakini banyak sekali orang-orang yang diselimuti keraguan dalam setiap langkahnya, dan orang-orang yang tersesat dengan pemikirannya sendiri.
Disini aku hanya mencoba untuk memahami, bukan untuk meyakinkan orang-orang agar meragukan setiap langkahnya, tetapi perlu disadari bahwa banyak sekali hal yang lebih penting dari ini, dan karena hidup itu pilihan, hargailah setiap proses-prosesnya, karena setiap langkah yang diambil itu penuh konsekuensi, tak terlepas itu menguntungkan atau bahkan merugikan.
Yang jelas, pergunakanlah apa yang kita miliki, aku kira kapasitas organ-organ tubuh yang ada dalam diri kita, sudah lebih dari cukup untuk melakukan sebuah tindakan.

Pengabdian yang Disertai Kesederhanaan

Melenyap sekejap dari sebuah fikiran yang terus mengisi otakku, serta mengandalkan sedikit intuisi yang memang selalu dibutuhkan di berbagai aktivitas. Semua seakan nyata di ruangan tertutup itu, meski hanya selintas terdengar suara-suara berbisik dari orang-orang yang berada di ruangan itu.
Merebahkan tubuh ini begitu mahal rasanya ketika semua aktivitas tidak dirasakan dengan berlebih, lalu bisa menemukan waktu yang bisa menenangkan seluruh fikiran. Seluruh isi dari ruangan itu kutatap, tak terkecuali dengan orang-orang yang ada saat itu, tak terdengar jelas ucapan dari mulut mereka, karena menurutku tidak semua ucapan itu adalah penting, meskipun sedikit naif untuk menyadari hal ini, karena jika didengarkan dengan baik, itu semua merupakan informasi yang sangat penting, namun perhatianku tidak tertuju kesana.
Hingga aku sendiri tertegun dengan percakapan yang kudengar, tentang kesederhanaan seseorang, dengan kemampuan yang terbatas, namun ia bisa memanfaatkan seluruh waktunya untuk berarti bagi orang lain, dan tidak mengharapkan apa-apa dari apa yang telah ia lakukan, murni atas pengabdian seseorang dengan perasaan yang ia rasa.
Mengurus seseorang bukanlah hal yang sangat mudah, mengingat itu adalah orang lain, bukan anggota keluarga sendiri, dan ia mengabdi kepada seorang kakek-kakek yang telah lanjut usia, yang waktu itu sedang berbaring di ruangan Rumah Sakit, dan tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan mengucapkan sebuah kata pun kakek itu tak sanggup, tetapi wanita itu tetap setia mengurusnya, bahkan suster Rumah Sakit itu pun kalah dengan pelayanan dan pengabdian darinya.
Keluarga dari sang kakek menyarankan agar wanita itu kembali ke Panti tempat dimana ia berasal, karena memang Dokter Rumah Sakit pun sudah tidak menyanggupi untuk menanggulangi penyakit kakek itu, namun wanita itu menolak dengan nada yang lembut, lalu mengucapkan beberapa kalimat, "saya tidak akan pulang dulu, nanti saja, saya sayang sama kakek. Saya akan pulang kalau kakek "pulang".
Aku tertegun mendengar semua kata-kata itu, mengingat wanita itu bukanlah siapa-siapa bagi keluarga sang kakek, hanya seorang pekerja yang ditugaskan mengurus kakek keluarga itu. Tetapi kesederhanaan dan pengabdian yang diberikan begitu besarnya, hingga ia rela menghabiskan banyak waktunya untuk mengurus kakek itu.
Mataku berkaca-kaca setelah kalimat itu terucap, aku berfikir di dunia ini masih banyak orang-orang yang baik, orang-orang yang perduli terhadap orang lain, orang yang kurang mampu tetapi bisa memperkaya dirinya dengan memberi arti dan pengabdian. Bertolak belakang sekali dengan realita yang ada di kota-kota besar, termasuk kota yang aku singgahi sekarang, tempat dimana aku dilahirkan.
Fenomena ini begitu membuat aku tersadar akan banyak hal, dan mempertegas bahwa materi bukanlah segalanya, kebutuhan tidaklah selalu menjadi tuntutan, dan dengan kesederhanaan, hal sekecil apapun bisa menjadi sebuah hal yang sangat besar.
Semoga saja kedepannya aku dapat bertemu lagi dengan fenomena-fenomena seperti ini, dan bahkan aku sendiri yang membuat fenomena itu.

Semoga saja ..
 
 
Blogger Templates