Rumah Mama, malam
kedua semenjak kondisi Mama semakin buruk dan merasakan waktunya sudah dekat
menuju ajal. Seluruh keluarga dipanggil satu-persatu untuk dimintai maaf,
kolega, hingga tetangga pun Ia sebutkan. Suasana sedih dan haru meliputi rumah
kecil ini. Air mata dan isak tangis tak hanya dicurahkan oleh keluarga, tetapi
yang hadir pada saat itu ikut merasakan kesedihan yang teramat dalam itu.
Malam ini, masih
merasakan sakit pada bagian betis, sedikit pegal mungkin. Efek kemarin berlari
sekuat tenaga dari jarak sekitar 3km saat mendengar kabar dari Kakak tentang
kondisi Mama, kebetulan yang saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju sana.
Hanya saja macetnya kota Bandung sedikit menghadang. Hari Sabtu, seperti
biasanya.
Aku yang pada saat
itu duduk disamping kursi kemudi, langsung membuka pintu mobil dan langsung
berlari menuju rumah Mama, karena kemacetan itu dirasa akan sangat lama untuk
dilewati, aku takut tak cukup waktu. Ditambah ketakutan akan panic attack,
karena kakakku yang duduk di kursi belakang sudah menangis sejadinya.
Pada malam kedua
ini, sedih rasanya saat menjaga Mama, memang semenjak hari pertama seluruh
anak-anaknya semua menginap disini, kecuali anaknya yang ke 3, yang harus
pulang ke Jepang meskipun tadinya Ia ingin mengurungkan niatnya untuk pulang.
Aku menjaganya
sampai pukul 04.30, memberinya minum, membetulkan posisi tidurnya, mengelus
tangan, kaki, serta punggungnya, dan mendengarkan Ia berbicara meskipun
terbata-bata.
Semangat Mama
sangatlah luar biasa, hanya saja akhir-akhir ini Ia sering mengeluh tidak kuat,
capek, sakit. Bahkan tadi, Ia memohon Malaikat Maut untuk segera mencabut
nyawanya, benar-benar seperti mendengar sebuah petir yang menggelegar.
Bagian paling
membuat suasana ti'ing adalah saat Mama memaksakan menggerakkan tangannya untuk
mengusap kepalaku, dengan susah payah Ia berkata "kasihan anak Mama,
sebentar lagi ditinggal Mama". Hanya pada malam ini, atau memang semenjak
kejadian itu, aku seakan seperti orang bisu, yang kebingungan untuk mengucap
sepatah kata pun, entah kenapa.
Ada pula, saat
Mama ingin duduk, dan kepalanya menyender pada bahu Apihku (Ayah). Seraya itu
juga Apih memeluk Mama, sungguh hanya aku saksi hidup pada saat itu, indah..
Benar-benar sesuatu yang indah.
Akupun tersadar
sebuah hal, Cinta.
Cinta sejati Mama,
adalah Apih, Ayah kandungku.
Cinta kalian abadi
Dikaruniai
anak-anak yang sangat mencintai kalian