Social Icons

Pages

Sunday, December 6, 2015

Membirukan Senja

Sering kita sadari setelah beberapa tahun kemudian, setelah hal lalu hanya dianggap lelucon, saat masa-masa itu merupakan hal yang tidak lagi dirasa indah, kemudian kita menyatakan bahwa ternyata mungkin apa yang kita rasakan saat ini akan berlaku sama dengan masa lalu yang kita anggap tidak lagi indah ini. Namun setidaknya kita pernah berusaha, atau minimal kita pernah menginginkan kehidupan ideal, yang nyatanya... penuh omong kosong.

Tidak sedang memerankan seorang tokoh, menjadikan alur terjadi seperti sur-realisme bukan pula menjadi tujuannya, namun akhir adalah akhir. Mungkin mereka dapat menyimpulkan tentang pertemuan berikutnya, kejutan selanjutnya, kemungkinan yang tidak pernah menurutkan harapan, yang sebenarnya hanya sebuah angan belaka, tak lebih. Ketika dibenturkan dengan kenyataan sesungguhnya, saat merasa bahwa hidup ini ternyata penuh omong kosong, diisi melulu soal kekecewaan, tidaklah terlalu kejam untuk memaki bahwa hidup tak pernah adil. Hanya raut muka yang dapat menutupi, namun perasaan tak dapat dipungkiri. Kopi pahit tetaplah pahit, tidak bisa berpura-pura bahwa itu manis. Pun kebahagiaan, kesedihan tetaplah menyedihkan, tak seharusnya berpura-pura bahagia. Adapun yang bisa seperti itu, ia hanya sedang bersandiwara. Dan sandiwara terburuk dalam kehidupan yaitu berpura-pura bahagia.

Kita pernah bahagia, kita harus. Kita pernah sedih, kita juga harus. Lalu seperti apa bahagia itu? Sebuah tujuan kah? Atau sebuah hadiah? Yang kita tahu, setiap mencapai tujuan tidak selalu mendapat hadiah, dan saat mencari hadiah belum tentu itu menjadi tujuan. Namun sepertinya kekecewaan sering datang pada mereka yang menjadikan hadiah sebagai sebuah tujuan.

Seseorang pernah berkata, dan bahkan mungkin ia pernah melakukannya, bahwa perjuangannya bak membirukan langit senja yang jelas-jelas selalu merah. Perumpamaan yang bagus untuk sebuah kesia-siaan, konotasi tentang kemustahilan, yang juga menyimpan perasaan sangat mendalam, kesan yang tak akan terlupakan, dan ketidakberdayaan. Secuil saja harapan hinggap, selamanya ia akan berpikir bahwa itu mungkin terjadi. Hidup tak harus selalu begitu, sayang. Lebih baik jika keniscayaan kau gunakan untuk sesuatu yang lebih layak bagimu. Ada masa yang seharusnya tidak diulang kembali. Jika itu manis nikmatilah, jika itu pahit telan sajalah. Keduanya sudah sama-sama kau ketahui di awal bahwa itu merupakan sebuah konsekuensi dalam salah satu dari ribuan tatanan kehidupan, juga representasi kehidupan. Only you can choose what you wanna see.

Aku selalu senang jika diharapkan, juga akan menjadi takut ketika terlalu diharapkan. besar-kecilnya harapanmu adalah yang menentukan tingkat kekecewaanmu. Dan tak ada yang lebih menyedihkan selain dikecewakan, aku kira. Bukan bagaimana dikecewakan, tapi seberapa besar harapan itu kau bangun. kau bisa menjadi apapun, tapi tak dapat membuat siapapun selalu seperti inginmu.

Mengharapkan akhir bahagia bukanlah sebuah ketamakan, semua berhak mendapatkannya. Namun jika itu bukan konotatif maka akhir bagi manusia berarti mati. Dan jika seumur hidup kita selalu memiliki harapan, mungkin tidak pada saat mati. Maka harapan ialah ciri kita hidup. Harapan membuat kita tetap hidup, namun juga bisa membunuh kapan saja. Banyak orang bahagia, dan tak sedikit pula yang menderita akibat mengejarnya.

Dan ingat senja yang selalu merah, walau kita terus mencoba membirukannya. Kesia-siaan itu berawal ketika kita menganggap manusia seperti senja, kenyataannya kita bukanlah senja. Kita berusaha membirukan senja padahal selalu tahu bahwa senja hanya akan melegam.

Monday, October 26, 2015

en-a-ef

Hanya sanggup sampai tahap mencintai, namun untuk dapat memilikimu butuh lebih dari sebuah mukjizat. Tuhan maha mengetahui, termasuk do'aku, namun tampaknya Ia lebih senang menyelamatkanmu agar tidak bersamaku.

-ir

Thursday, July 30, 2015

Pengakuan Seorang Pecundang

Duduk menunggu antrean biasanya menyebalkan, sebelum akhirnya tiba seorang Ibu duduk di sebelah saya lalu mengajak saya ngobrol. Panjang kami mengobrol hingga akhirnya ia bertanya tentang pernikahan. Saya pun menjawab jika saya tidak terlalu tertarik dengan pernikahan, ia tanya kenapa. Saya hanya tersenyum, kemudian ia memberikan sedikit statement bahwa pernikahan itu mungkin dibutuhkan, selain untuk memiliki keturunan, juga untuk mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan tidak sepenuhnya benar, harus ada yang mengingatkan. Orang tua tak selamanya dapat menemani kita. Lalu ia tersenyum, ia pun bilang selama ini suaminya tidak banyak melakukan apa-apa, selain membantunya bahagia, itu saja lebih dari cukup, lalu kebahagiaan itu bertambah datangnya dari anak-anak mereka. Ia bilang tidak mau mati dalam keadaan sendiri, kesepian. Karena tidak ada penderitaan yang lebih mengenaskan daripada kesepian. Happiness is you've always known you're not alone.
Saya tersenyum, terharu.. 
Kemudian saya tersedak ketika Ibu tersebut bertanya apakah tidak ada wanita istimewa yang benar2 saya inginkan untuk menemani saya di kemudian hari. Saya jawab ada, namun saya sudah tekan perasaan itu beberapa tahun ini, saya hampir merelakannya, membiarkannya bahagia dengan jalannya sendiri, saya mencintainya.. namun saya tak mau terlalu memaksakan apa yang tidak saya sanggupi. Ia menanggapi, bahwa sebelumnya ia tak pernah mengira akan bahagia bersama suaminya, namun suaminya bisa membuat hal yang menurutnya tidak mungkin, menjadi sangat mungkin, dan ternyata ia bisa. Kemungkinan itu selalu ada. Saya malu, kemudian mengakui bahwa saya hanyalah seorang pecundang. Ia tertawa, disanggahnya saya bahwa saya mungkin hanya seorang pengecut, sudah melewati asam garam kehidupan tapi terlalu berhati-hati, takut menghadapi kenyataan, dan akhirnya tidak terlalu berani mengambil risiko. Saya tersipu, mengiyakan perkataannya. Kemudian ia pamit, entah kemana.
Banyak yang bisa saya petik dari obrolan yang tak terduga itu, namun sayangnya.. tetap tak dapat mengubah ketertarikan saya terhadap pernikahan. Iya, saya mungkin terlalu pragmatis.

 
 
Blogger Templates