Social Icons

Pages

Thursday, December 22, 2016

Gayung Bersambut

Not try to show you part of me, no one else can find. Estetika sebuah pertahanan diri yang mulai gugus seiring waktu. Tembok kokoh pernah dibangun, bahkan diperkuat, dijaga, tak seorangpun diijinkan untuk masuk. Silahkan, bagi mereka yang ingin sekedar mengintip, dan nilai sesuka kalian. Aku tak akan pernah perduli.

Makna sering disalah arti, tanda tak pernah selalu pasti. Kita sering salah, dan akan salah lagi. Lepaskan apa yang tidak sesuai dengan anganmu, lihatlah apa yang ingin kau lihat, dengar apa yang ingin kau dengar, cium apa yang ingin kau cium. Meski dengan begitu kau menjadi cukup picik sebagai seorang manusia.

Apa yang tidak kau mengerti adalah apa yang harus kau cari, apa yang tidak kau pahami adalah apa yang harus kau pelajari. Pernah tertarik untuk membaca sebuah buku bukan berarti ingin untuk memilikinya, pernah memuji bukan berarti menyukainya. Masih berani menafsirkan apa yang tidak kau pahami? Setidaknya kita pernah mencobanya, walau gagal. Disukai itu menyenangkan, diperhatikan itu menenangkan. Jangan disalah arti, kebaikan tidak harus selalu menyembunyikan maksud. Kita hidup di satu zaman tapi mungkin dalam perspektif yang berbeda, tidak perlu gusar, tidak perlu berlebihan, semua yang menurut Anda (kalian) tampak rumit sebenarnya sangat sederhana. Tidak lebih rumit dari jatuh tempo sebuah cicilan.

Yang menjadi pertanyaan, adakah yang pernah dihubungi malam hari, bertukar suara yang berat, menggema untuk membahas sesuatu yang tidak pernah penting namun berarti? Atau dimintai pendapat soal warna sepatu yang bagus? Minimal dua itu saja, ada? Jika tidak maka kekhawatiran, asumsi, pendapat, claim, dan pengamatan anda (kalian) selama ini artinya hanya sekedar apa yang ingin kalian yakini. Karena nyatanya tidak seperti yang dirumitkan.

Pada akhirnya mereka yang pergi telah melewati dua hal: kebaikan atau keburukan. Menyesalinya atau mensyukurinya, itu juga berarti merelakannya ialah sebuah hal yang menjadi semestinya.


Seorang pria tua pernah bertanya, “apa yang kau sukai, Nak?”

“Aku tak pernah benar-benar menyukai sesuatu begitu dalam, hingga harus aku ingat-ingat dan kuceritakan pada orang lain.” Jawabku.

“Kalau ada yang menyukaimu? Pasti kau akan bahagia, lalu kau ceritakan pada orang lain.” Pria tua itu percaya diri.

“Aku pasti senang, namun menceritakannya pada yang lain bukanlah berbagi senang, namun menyuapkan ego dan kesombonganku yang dipaksakan untuk mereka makan, mereka cerna.”

“Ternyata, kau tidak pernah berubah, selalu sulit ditebak, bahkan di lingkungan keluargamu sendiri, anakku.”

“Di lingkungan manapun tepatnya, Pih.”

Banyak mata yang dirasa terlalu fokus pada satu titik, menilai berdasar apa yang tampak, membedah apa yang tersirat. Bagaimana bisa melihat seperti apa isi rumah jika hanya menengadahkan kepala dari luar halaman? Jika ada akan kuangkat topi dan tepuk tangan dengan penuh apresiasi.
Jika tidak, tak mengapa.

At least we tried :).

Saturday, April 30, 2016

Satu Kalimat Yang Tak Sempat Kuucap

It has to end to begin. Hanya awal yang menjadi begitu sangat indah. Akhir ini pahit, meski sudah pernah aku duga. Ia yang mengakhiri cerita ini bukan dengan cara berpaling, bukan dengan penolakan. Ia mengakhiri dengan elegan; menerima pinangan pria yang bukan aku. Aku kalah, meskipun ini bukan kompetisi. Aku marah, namun entah pada siapa. Aku lemah, walau tak ada yang menekan. Sebab mungkin karena aku tak mampu untuk menyalahkan siapapun, menyalahkan apapun selain diriku sendiri. Padahal hanya dia yang benar-benar kuinginkan, namun Tuhan tidak menghendaki.

Hanya sanggup sampai tahap mencintai, namun untuk dapat memilikimu butuh lebih dari sebuah mukjizat. Tuhan maha mengetahui, termasuk doaku, namun tampaknya ia lebih senang menyelamatkanmu agar tidak bersamaku.

Aku tak pernah bicara pengorbanan, sebab apalah kemurnian dari sebuah pengorbanan jika dihitung. Aku juga tak pernah bicara cinta, sebab apalah arti cinta jika diucapkan saja tidak pernah. Meskipun aku pernah bermaksud untuk mengucapkannya padamu, namun Tuhan benar-benar menyelamatkanmu. Kau tentu ingat saat kepulanganku dari Jepang, dan sakitmu saat itu adalah bentuk penyelamatan dari Tuhan sehingga kau tak dapat kutemui hingga waktu liburmu telah habis. Kau pun kembali ke Jerman. Tuhan juga tahu bahwa aku akan terluka, hanya saja aku yang terlalu bodoh menyadari itu semua, melawan kehendak-Nya. Tuhan tahu karena selalu ada namamu dalam setiap doaku. Setiap doa demi kebaikanmu pasti Ia kabulkan, namun doaku untuk dapat memilikimu tidak Ia hiraukan. Yang berarti bahwa aku bukanlah kebaikan tersebut. Pria yang kau pilihlah kebaikan itu.

Tidak mengapa, hidup tak terlalu jauh dengan luka, setidaknya bagi diriku. Pain made me grow up. Dan asal orang yang dicintainya bahagia, bukan? Aku tak pantas menangisi, kau tak pernah menyakiti. Aku tak pantas bersedih, pilihanmu ialah doaku juga. Namun aku tak dapat memungkiri bahwa aku sedang berusaha berbahagia, walau nyatanya aku tak mampu. Aku pikir ini cinta, entahlah. Yang jelas untukmu kubuatkan buku saat yang lain hanya kubuatkan puisi, kubuatkan syair.

Pada akhirnya Tuhan mengabulkan doaku untuk dapat melihatmu, menemuimu. Bukan di The Loft tempat kita pertama kali makan malam, bukan pula di Sober tempat kau habiskan rasa penasaran. Atau, di manapun tempat aku bisa utarakan kalimat yang tak sempat kuucap, bukan. Aku melihatmu saat kau bersanding dengan pria pilihanmu. Aku menemuimu sebagai tamu. Yang artinya, itu mungkin menjadi yang terakhir kalinya aku menemuimu. Tak akan kutulis selamat berbahagia di sini. Seperti kubilang, selalu ada namamu dalam doaku.

Final Surprise

i wrote book for you when i only make poetry for others.

 
 
Blogger Templates