Hoax,
atau informasi yang berisi kebohongan bukan hal baru ketika kita membahas
mengenai media. Konten semacam ini tidak hanya disebarkan oleh media-media
abal-abal yang sering kita jumpai bahkan saat mengakses media sosial. Media mainstream pun sering kali membagikan
informasi yang isinya tidak bermanfaat, kebenarannya diragukan, serta mengandung
tendensi pada kepentingan kelompok atau individu tertentu, dengan tujuan yang
beragam.
Dewasa
kini, media literasi seakan tidak cukup untuk menanggulangi masalah hoax,
karena nyatanya hoax ini tidak hanya ditargetkan pada khalayak pasif, namun
juga menyasar pada siapapun yang dapat mengakses portal media lewat jejaring
sosial misalnya. Disadari atau tidak, kita sering menemukan suatu konten yang
kita sendiri ragukan kebenarannya, bahkan dengan ringan kita konsumsi bagaikan
cemilan sehari-hari. Sama halnya dengan sebuah cemilan, kita sering pula abai
mengenai manfaat atas kandungannya dan dibiarkan begitu saja masuk melalui
mulut dan dicerna oleh perut kita. Tanpa pengetahuan lebih, kita tidak akan
pernah tahu hal tersebut akan berdampak seperti apa terhadap tubuh kita,
begitupun ketika kita sering mengkonsumsi informasi-informasi hoax.
Pada
dasarnya manusia menyukai hal-hal yang menyenangkan, dan kita biasanya membaca
apa yang ingin dibaca, mendengar apa yang ingin didengar, yang berarti juga
kita acapkali mengesampingkan isi informasi yang tidak sesuai dengan keinginan
kita. Namun ketika menemukan informasi yang sesuai dengan keberpihakan kita,
kita cenderung senang terhadap isi informasi tersebut, dan abai pada tahap
verifikasi mengenai kebenarannya, sehingga meskipun sumbernya tidak reliabel
dan untrustworthy, asalkan bisa
dianggap sebagai suatu kebenaran maka informasi tersebut dianggap sebuah
realitas.
Media
massa telah berkembang dengan sangat pesat, memberikan banyak pengaruh serta
mampu membentuk apa yang ada di kehidupan kita. Kita dibuat seakan tidak dapat
mengetahui sesuatu hal secara pasti, fakta semakin bias, yang ada hanya interpretasi
atas fakta yang kita buat. Lewat hoax, kemungkinan dalam lahirnya
identitas-identitas baru pada masyarakat sangat mungkin terjadi, lahirnya
ideologi-ideologi baru atau membangkitkan yang telah lama mati menjadi
konsekuensi logis atas merebaknya hoax. Kita tidak lagi memperhatikan
aspek-aspek budaya dan standar estetika.
Suatu hal
tidak akan berbahaya jika berpegang pada sebuah kebenaran, namun akan menjadi
gamang ketika sesuatu yang dianggap benar tersebut merupakan sebuah ilusi,
sebuah kebohongan, dan kesesatan walau dapat dicerna secara logika. Bukan
menanamkan standar kebenaran tradisional yang statis, yang menghasilkan suatu
pemikiran paradoksal. Tidak semua orang memahami pemikiran paradoksal.
Penyebaran
hoax bisa melalui apa saja, termasuk mitos. Ada pengeksploitasian mitos sebagai
media komunikasi. Roland Barthes dalam buku Alex Sobur yang berjudul Semiotika
Komunikasi (2009), mengemukakan bahwa mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk
diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi,
olah raga, dan televisi. Berbicara mitos tentu tidak dapat mengesampingkan
ideologi, terdapat kaitan erat antara mitos dan ideologi. Van Zoest berkata,
bahwa “ideologi harus dapat diceritakan,” dan cerita itulah yang disebut mitos.
Hoax menjalar dari cerita, dari mitos. Ketika hoax ini dianggap sudah menjadi
bagian dari realitas dan mengkonstruksi sikap dan opini masyarakat, maka akan
muncul ideologi-ideologi baru yang dikhawatirkan mengandung tendensi yang
dinilai berbahaya dan merugikan; pembodohan, kepanikan, terror, penyebaran
kebencian, radikalisme, dan bahaya lainnya.
Mempercayai
hoax tidak berbeda dengan menganggap kebenaran hanya sebagai kebutuhan
subyektif manusia, sesuatu yang dianggap sebuah properti yang dapat dimiliki.
Menganggap tindakannya benar, meyakini kebenaran yang dianutnya sekalipun
berdasarkan suatu kebohongan.
Kebenaran
akan menampakkan wajahnya, bukan hanya sebatas ilusi. Ilusi-ilusi rendahan
seperti hoax dapat diminimalisir, dapat diberantas. Kita tidak akan pernah
cerdas dalam bermedia selama kita tidak mampu sadar dari pengaruh ilusi
tersebut. Jejali kepala kita dengan bacaan-bacaan, tontonan, dan aktivitas lain
yang bermanfaat, dengan begitu literasi media kita akan terus meningkat, dan
itulah pendorong penting dalam upaya pemberantasan hoax. Selalu lakukan verifikasi
setiap mendapatkan informasi yang dirasa meragukan. Verifikasi terhadap
kebenaran mengenai isi informasi sungguh sangat penting, namun tidak cukup
hanya sampai tahapan tersebut. Kita wajib menimang dan mempertimbangkan sebuah
informasi yang sudah kita verifikasi tersebut apakah bermanfaat atau justru
menimbulkan kemudharatan, sebelum memutuskan untuk men-share ulang atau tidak informasi tersebut.
Belajar
dari pengalaman para pendahulu kita, bahwa kita tidak boleh lagi acuh serta
apatis terhadap nilai-nilai suatu informasi. Pernah terjadi ketika Pearl
Harbour diserang, banyak warga Amerika saat itu yang tidak mempercayai
informasi tersebut, karena 3 tahun sebelumnya sebuah stasiun radio di Amerika
pernah menyiarkan sebuah cerita tentang invasi dari Mars ke Bumi, yang disela oleh
sebuah laporan cuaca. Spontan hal ini dianggap sesuai seperti narasi dalam
cerita tersebut. Kepanikan terjadi, kantor kepolisian dibanjiri
panggilan-panggilan bahaya, bahkan banyak orang-orang yang mempersenjatai diri
mereka dan melarikan diri ke pegunungan. Inilah bahayanya, akan banyak kerugian
yang dialami jika kita mempercayai hoax, dan kerugian yang paling besar ialah
jika masyarakat berubah menjadi apatis, abai, dan enggan lagi membaca, mencari,
dan mengetahui suatu berita. Seakan-akan itu merupakan sikap yang benar, walau
nyatanya hanya terjebak dalam sebuah ilusi yang malah kita sendiri jaga agar
tidak dapat dihancurkan. Semoga kita bisa tidak seperti itu.