Social Icons

Pages

Friday, April 14, 2017

Hoax dan Ilusi Kebenaran

Hoax, atau informasi yang berisi kebohongan bukan hal baru ketika kita membahas mengenai media. Konten semacam ini tidak hanya disebarkan oleh media-media abal-abal yang sering kita jumpai bahkan saat mengakses media sosial. Media mainstream pun sering kali membagikan informasi yang isinya tidak bermanfaat, kebenarannya diragukan, serta mengandung tendensi pada kepentingan kelompok atau individu tertentu, dengan tujuan yang beragam.
Dewasa kini, media literasi seakan tidak cukup untuk menanggulangi masalah hoax, karena nyatanya hoax ini tidak hanya ditargetkan pada khalayak pasif, namun juga menyasar pada siapapun yang dapat mengakses portal media lewat jejaring sosial misalnya. Disadari atau tidak, kita sering menemukan suatu konten yang kita sendiri ragukan kebenarannya, bahkan dengan ringan kita konsumsi bagaikan cemilan sehari-hari. Sama halnya dengan sebuah cemilan, kita sering pula abai mengenai manfaat atas kandungannya dan dibiarkan begitu saja masuk melalui mulut dan dicerna oleh perut kita. Tanpa pengetahuan lebih, kita tidak akan pernah tahu hal tersebut akan berdampak seperti apa terhadap tubuh kita, begitupun ketika kita sering mengkonsumsi informasi-informasi hoax.
Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal yang menyenangkan, dan kita biasanya membaca apa yang ingin dibaca, mendengar apa yang ingin didengar, yang berarti juga kita acapkali mengesampingkan isi informasi yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun ketika menemukan informasi yang sesuai dengan keberpihakan kita, kita cenderung senang terhadap isi informasi tersebut, dan abai pada tahap verifikasi mengenai kebenarannya, sehingga meskipun sumbernya tidak reliabel dan untrustworthy, asalkan bisa dianggap sebagai suatu kebenaran maka informasi tersebut dianggap sebuah realitas.
Media massa telah berkembang dengan sangat pesat, memberikan banyak pengaruh serta mampu membentuk apa yang ada di kehidupan kita. Kita dibuat seakan tidak dapat mengetahui sesuatu hal secara pasti, fakta semakin bias, yang ada hanya interpretasi atas fakta yang kita buat. Lewat hoax, kemungkinan dalam lahirnya identitas-identitas baru pada masyarakat sangat mungkin terjadi, lahirnya ideologi-ideologi baru atau membangkitkan yang telah lama mati menjadi konsekuensi logis atas merebaknya hoax. Kita tidak lagi memperhatikan aspek-aspek budaya dan standar estetika.
Suatu hal tidak akan berbahaya jika berpegang pada sebuah kebenaran, namun akan menjadi gamang ketika sesuatu yang dianggap benar tersebut merupakan sebuah ilusi, sebuah kebohongan, dan kesesatan walau dapat dicerna secara logika. Bukan menanamkan standar kebenaran tradisional yang statis, yang menghasilkan suatu pemikiran paradoksal. Tidak semua orang memahami pemikiran paradoksal.
Penyebaran hoax bisa melalui apa saja, termasuk mitos. Ada pengeksploitasian mitos sebagai media komunikasi. Roland Barthes dalam buku Alex Sobur yang berjudul Semiotika Komunikasi (2009), mengemukakan bahwa mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga, dan televisi. Berbicara mitos tentu tidak dapat mengesampingkan ideologi, terdapat kaitan erat antara mitos dan ideologi. Van Zoest berkata, bahwa “ideologi harus dapat diceritakan,” dan cerita itulah yang disebut mitos. Hoax menjalar dari cerita, dari mitos. Ketika hoax ini dianggap sudah menjadi bagian dari realitas dan mengkonstruksi sikap dan opini masyarakat, maka akan muncul ideologi-ideologi baru yang dikhawatirkan mengandung tendensi yang dinilai berbahaya dan merugikan; pembodohan, kepanikan, terror, penyebaran kebencian, radikalisme, dan bahaya lainnya.
Mempercayai hoax tidak berbeda dengan menganggap kebenaran hanya sebagai kebutuhan subyektif manusia, sesuatu yang dianggap sebuah properti yang dapat dimiliki. Menganggap tindakannya benar, meyakini kebenaran yang dianutnya sekalipun berdasarkan suatu kebohongan.
Kebenaran akan menampakkan wajahnya, bukan hanya sebatas ilusi. Ilusi-ilusi rendahan seperti hoax dapat diminimalisir, dapat diberantas. Kita tidak akan pernah cerdas dalam bermedia selama kita tidak mampu sadar dari pengaruh ilusi tersebut. Jejali kepala kita dengan bacaan-bacaan, tontonan, dan aktivitas lain yang bermanfaat, dengan begitu literasi media kita akan terus meningkat, dan itulah pendorong penting dalam upaya pemberantasan hoax. Selalu lakukan verifikasi setiap mendapatkan informasi yang dirasa meragukan. Verifikasi terhadap kebenaran mengenai isi informasi sungguh sangat penting, namun tidak cukup hanya sampai tahapan tersebut. Kita wajib menimang dan mempertimbangkan sebuah informasi yang sudah kita verifikasi tersebut apakah bermanfaat atau justru menimbulkan kemudharatan, sebelum memutuskan untuk men-share ulang atau tidak informasi tersebut.
Belajar dari pengalaman para pendahulu kita, bahwa kita tidak boleh lagi acuh serta apatis terhadap nilai-nilai suatu informasi. Pernah terjadi ketika Pearl Harbour diserang, banyak warga Amerika saat itu yang tidak mempercayai informasi tersebut, karena 3 tahun sebelumnya sebuah stasiun radio di Amerika pernah menyiarkan sebuah cerita tentang invasi dari Mars ke Bumi, yang disela oleh sebuah laporan cuaca. Spontan hal ini dianggap sesuai seperti narasi dalam cerita tersebut. Kepanikan terjadi, kantor kepolisian dibanjiri panggilan-panggilan bahaya, bahkan banyak orang-orang yang mempersenjatai diri mereka dan melarikan diri ke pegunungan. Inilah bahayanya, akan banyak kerugian yang dialami jika kita mempercayai hoax, dan kerugian yang paling besar ialah jika masyarakat berubah menjadi apatis, abai, dan enggan lagi membaca, mencari, dan mengetahui suatu berita. Seakan-akan itu merupakan sikap yang benar, walau nyatanya hanya terjebak dalam sebuah ilusi yang malah kita sendiri jaga agar tidak dapat dihancurkan. Semoga kita bisa tidak seperti itu.
 
 
Blogger Templates