Social Icons

Pages

Friday, April 6, 2018

Elegi

Menendang batu kerikil di jalan, tidak pernah mereka lakukan saat berjalan di bawah hujan. Manusia biasanya tidak melakukan hal yang sia-sia seperti itu secara sekaligus. Meskipun banyak manusia itu rakus, tapi bukan untuk kesia-siaan.

Mencoba kembali merunut beberapa pikiran yang lalu untuk dituang ke dalam bentuk tulisan, setidaknya agar cemas ini cepat mereda. Lalu aku bertanya, adakah kecemasan yang lebih besar daripada mencemaskan masa depan? Karena kukira, ada yang lebih menyiksa daripada itu, yaitu rindu. Aku pernah berkata, bagaimana mungkin rindu yang begitu menyiksa ini disebut kebahagiaan? Tapi kukira wajar, lebih baik tersiksa rindu daripada terus diselimuti kecemasan akibat ketakutan menghadapi masa depan. Manusiawi sekali, takut akan hal yang belum tentu terjadi. Aku tak peduli dengan perkataan motivator-motivator pintar itu, yang melarang-larang kita untuk jangan cemas. Bagiku, harapanku muncul akibat kecemasanku, dan harapanku ini yang menghidupkanku, bukan perkataan mereka.

Itu mungkin hanya alasan bagimu, seperti berkata "aku susah jatuh cinta", padahal menurutku, tidak ada istilah susah jatuh cinta. Kita klaim susah jatuh cinta saat mengalami kesendirian, atau jawaban pembenaran menutupi kesepian. Jarang manusia ingin terlihat lemah, tapi kadang saat lemah ingin dikasihani.

Mungkin saatnya menikmati kecemasan, barangkali itu hal yang paling mudah untuk dilakukan. Karena bagaimanapun, jalan keluarnya tetap dari bagaimana kita menyikapinya. Seperti permintaan maaf dari mantan, hanya menambah penderitaan, bagi mereka yang masih merasakan cinta, setelah itu berlalu. Lalu apa hubungannya? Kukira tidak ada. Ingin saja aku untuk sedikit mencurahkannya. Sudah kubilang, aku sedang cemas, kuharap kau maklum.

Berbicara tentang curahan hati, beberapa sajak berhasil kubuat, untuk dia yang masih kurindukan. Untuk dia yang tak pernah kuharapkan untuk bertemu kembali. Aku hanya menyiksa diri dengan rinduku, bukan menginginkannya, bukan. Jangan salah paham.

"Pada akhirnya mereka yang pergi telah melewati dua hal: kebaikan atau keburukan. Menyesalinya atau mensyukurinya, itu juga berarti merelakannya ialah hal yang pasti."

"Kini kau bahagia, setidaknya klaim itu mencukupkanku untuk tidak lagi memikirkanmu apalagi mengharapkanmu kembali, kini kau bahagia."

"Alasanku pergi ialah agar bukan kau yang menderita akibat melepaskan dan mengubur perasaan, seperti aku sekarang."

"Kebencianmu terhadap orang yang (pernah, atau mungkin masih) kau cintai, yang berarti itu aku, adalah yang membuatmu semakin kuat."

Cukup, hanya itu. Cemasku masih tak mereda, meski sudah kualihkan pada rindu, ini menyiksa. Sudah cukup aku mencemaskan diriku sendiri, tak perlu kutambah mencemaskan dirinya juga. Dengan merindukannya, lalu membuat sajak, sedikitnya menambah kecemasanku. Aku cemas jika sajak-sajakku ternyata salah.

Jika menurut Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang menyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan itu setiap manusia diharapkan mampu memunculkan bakat yang dimiliki, serta bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Kupikir saat ini, merindu adalah bakatku, dan aku pun bisa mengembangkannya. Kupikir, aku sangat suka apabila dirindukan. Kupikir, ia juga akan suka, namun aku kembali cemas karena takut ia tidak, karena aku yang merindukan. Aku urungkan niatku untuk mengembangkan bakatku ini. Lebih baik begitu.

Jika cemas ini hanya sekedar menakuti, tanpa mengubah menuju perubahan yang baik, maka betul waktu hanya berlalu dengan percuma. Cemas ini muncul, karena pernah melalui dan mengalami situasi, di mana aku tidak dapat melakukan apapun saat sekitarku membutuhkan pertolongan. Sengaja kugambarkan secara implisit, yang jelas saat itu sangat tidak mengenakkan, bahkan menangis pun aku tak pantas. Bukan dramatisir, bayangkan saja. Sungguh, tidak ingin lagi ada dalam situasi tersebut.

Terdapat konsep dalam setiap pemikiran manusia. Saat tidak dimengerti, barangkali itu masih tampak seperti paradoksal, tidak semua dapat memahami paradoksal. Cemas ini bukan hanya tentang elegi, namun juga menyimpan banyak makna. Tanya sekitarmu, berapa banyak kekuatan itu muncul akibat kecemasan? Cemas nanti hujan, maka membawa payung. Cemas esok tak bisa makan, maka bekerja. Cemas akan mengecewakan, maka berusaha berbuat benar. Dan menghilangkan kecemasan, kukira itu tidak perlu, cukup diredakan, selama itu masih memberimu banyak harapan.
 
 
Blogger Templates