Social Icons

Pages

Monday, October 21, 2019

Disintegrasi Virtual

Meluasnya fungsi media sosial sebagai alternatif aktivitas masyarakat saat ini menjadikannya sebagai salah satu media primer yang digunakan oleh masyarakat. Layaknya berinteraksi di ruang publik, ruang virtual juga seringkali digunakan untuk diskusi atau menjadi ruang debat beradu pemikiran, ideologi, dan praktik-praktik berbau politik. Maraknya ruang siber digunakan untuk praktik-praktik semacam ini menimbulkan potensi munculnya disintegrasi; merebaknya hoax, ujaran kebencian (hate speech), hinaan atau umpatan dengan bahasa kasar (flaming) merupakan salah satu contoh disintegrasi. Karena praktiknya di ruang siber, maka disebut disintegrasi virtual.
Berbicara permasalahan-permasalahan di dunia virtual berarti juga membahas totalitas sistem sosial yang di dalamnya yang mencakup fungsi struktural, kemudian muncul konsekuensi yang tidak diharapkan dari satu sistem sosio-kultural. Tindakan manusia merupakan suatu proses untuk memproduksi dan memproduksikan kembali berbagai sistem sosial. Artinya, ketika kita berinteraksi satu sama lain di ruang siber, maka kita telah membuat berbagai struktur dengan lingkup mulai dari struktur institusi sosial dan budaya yang luas hingga lingkup struktur hubungan individu yang lebih kecil.
Teknologi siber sebagai budaya memungkinkan adanya perubahan konsep ruang dan waktu serta aturan dalam komunikasi (Dodge dalam Hine, 2005). Namun bukan berarti dengan adanya teknologi, para pengguna lantas mempraktikkan suatu budaya baru, belum tentu. Praktik di dunia virtual tidak jauh berbeda dengan praktik di kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam mengkonsumsi berita, kebiasaan melihat berita di televisi, mendengarkan radio, atau membaca koran, kini dapat dilakukan secara streaming dan membaca situs berita di ruang siber. Praktiknya tetap sama, namun mediumnya kini menjadi lebih beragam.
Mengacu pada teori cultural lag (kelambanan budaya), apabila bermacam-macam bagian dari kebudayaan berkembang secara tidak imbang, tidak sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka kebudayaan tadi akan mengalami proses kelambanan kultural (Kartono, 2013). Teknologi kian berkembang semakin pesat, apakah peradaban menyelaraskannya dengan imbang? Sudah maju atau tidaknya suatu peradaban tentu saja ditinjau dari perilaku masyarakatnya. Dan saat dunia virtual yang semakin canggih namun masih digunakan untuk praktik membagikan konten yang mengandung isu-isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), peradaban di sini masih belum benar-benar maju.
Fenomena di ruang siber dapat dipandang sebagai suatu budaya dan artefak kebudayaan. Selain itu, disintegrasi virtual berperan ganda, bisa sebagai sebab, bisa juga sebagai akibat. Akibat dari disintegrasi virtual ini salah satunya ialah hilangnya kontrol dan memungkinkan individu-individu untuk bertingkah laku semaunya sendiri tanpa penggunaan pola-pola susila, tanpa rem. Ruang siber bisa digunakan sebagai ajang perseturuan dalam kontrol dan interpretasi pop culture.
Faktor penyebabnya tentu saja beragam, faktor ekonomi, politik, sosial budaya, bahkan religius sekalipun. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, saling mempengaruhi, dan tingkah laku manusia juga akan terpengaruh. Perubahan tingkah laku dan perubahan sosial terjadi beriringan dengan perkembangan yang tidak imbang dalam kebudayaan, adanya disharmoni atau ketidakselarasan. Hal ini ikut didorong oleh penyedia platform-platform yang mulai bergantung pada partisipasi khalayak, menjadikannya sebagai bagian integral dalam aparatur produksi media itu sendiri.
Bukan tanpa sebab Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Berangkat dari sebuah kekhawatiran, Komisi Fatwa menyebutkan apa-apa saja yang diharamkan, yaitu melakukan gibah, fitnah, adu domba, dan penyebaran permusuhan. Kemudian MUI juga mengharamkan bullying, ujaran kebencian (hate speech), serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan. Selain itu, diharamkan pula bagi mereka yang menyebarkan hoax apapun tujuannya, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan semua hal yang terlarang secara syar’i. Dalam padanan hukum, terdapat undang-undang yang mengatur mengenai segala bentuk informasi, transaksi dengan menggunakan medium elektronik, yakni UU ITE. Membahas UU ITE berarti harus dikupas secara komprehensif mengingat banyaknya terkandung pasal-pasal karet di dalamnya. Barangkali dibahas pada tulisan berikutnya.
Butir-butir tersebut di atas, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam kehidupan sehari-hari, dan praktik-praktik tersebut tentu saja memunculkan disintegrasi sosial dan berbenturan dengan norma yang berlaku apabila dilakukan. Hal yang membedakan praktik di kehidupan sehari-hari dengan di dunia virtual, yaitu di dunia virtual pengguna hanya fokus pada diri sendiri karena pengguna lain tidak hadir secara nyata karena hanya termediasi teknologi (Hine, 2000). Pengguna merasa lebih bebas dalam menyebarkan tautan karena dalam platform tertentu, pengguna tidak dapat secara langsung melihat ekspresi yang ditunjukkan khalayak.
Menjadi dilematis, ketika praktik-praktik semacam hate speech, flaming, dan bentuk hinaan lainnya dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Hal-hal yang tentu saja akan sangat berbeda ketika diaplikasikan di dunia offline. Terjadinya polarisasi kelompok juga tak jarang melahirkan praktik-praktik semacam ini. Perbedaan nilai tentu saja merupakan hal wajar, namun di dunia virtual, seiring dengan kurangnya identifiability, menghasilkan kurangnya kesadaran diri. Selain itu, adanya bentuk sikap sebagai pelampiasan atau penaklukan diri, yang akhirnya memperpanjang catatan disintegrasi virtual tersebut. Berarti, fatwa dari MUI bukanlah tindakan preventif yang efektif. Serta tindakan represif menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE hanya akan menambah daftar corengan pada muka demokrasi negara ini.
 
 
Blogger Templates